Monday, December 31, 2012

Seribu warna Mahameru

Monday, December 31, 2012

             Jika terjadi, maka dalam hitungan hari aku akan berada di puncak Semeru. Puncak tertinggi di jawa, puncak yang belakangan ini orang-orang ingin berada. Dan aku sendiri? Mungkin aku juga termasuk, tapi mungkin juga tidak. Karena semakin sering aku memikirkannya, ternyata semakin membuatku tak begitu mengerti apa tujuanku pergi ke sana. Semakin membuatku bingung apakah aku benar-benar menginginkannya.

22-12-12
Kami mulai bersiap menaiki motor, di pelataran jalan di depannya kontrakan bumi marina emas utara f-119, kurang lebih jam 10 an. Aku tak mengetahui masing-masing perasaan dari temanku, tapi perjalanan yang akan baru di mulai ini, mengantarkanku pada ketenangan yang, bahkan aku sendiri tak tau dari mana datangnya. Assseeek.

Bulan menggantung tenang
malam redup melukis awan
anginpun mengalun pelan.
Selamat jalan untuk kami
sampai jumpa untukmu


Sesampainya di bungurasih, tak butuh waktu lama, kami mendapatkan bis yang akan mengantarkan ke terminal arjosari, malang. Setelah menaruh tas carrier di bagasi, kami berebutan masuk bis dengan penumpang lain. Berdesaka-desakan, seperti saat pembagian sembako, ntah kenapa orang Indonesia lebih suka dengan keadaan seperti ini, ketimbang antri dengan rapi, mungkin ada alasan psikologis tentang ini, seperti misal karena orang Indonesia senang sekali bersosialisasi, dan keadaan ini sekaligus bukti bahwa mereka sangat senang sekali berdekatan dengan yang lain, sampai mencium-cium ketiak orang disampingnya pun tidak masalah. Oh kawan, tidak bisakah kalian lebih higienis sedikit saja. Awalnya aku mencoba bersikap tenang, ah, tapi mata mulai memerah dan air liur menetes dengan ganas, “THIS IS WAR, kursi itu milik gueh!” 


           
Setelah di dalam bis, aku buru-buru memilih kursi yang kosong sekaligus membokingkan teman-teman yang lain, teman yang sudah masuk duluan juga melakukan hal yang sama. Sebenarnya ku pikir melakukan ini aga’ sedikit curang, jadi untuk bapak-ibu sekalian, kami mohon maaf untuk ketidak nyamanannya, atau mungkin juga tidak, karena ini sudah menjadi hal yang sangat wajar, jika boleh sedikit agamis, izinkan saya menjelaskannya; hal yang sudah menjadi kebiasaan ini adalah hukum yang tak tertulis, karena semua orang telah menerimanya dengan sadar, seperti yang di jelaskan oleh imam Syafi’i dalam qoidah fqhnya “Al-adatu hukkamu ; adat(kebiasaan) itu dijadikan hukum(tentu saja dengan beberapa syarat yang harus dipenuhinya)”  jadi intinya, kami tidak melakukan kecurangan karena semua orang telah menerima hal ini dengan sadar.
 
Di dalam bis, kebanyakan dari kami menghabiskannya dengan tidur. Sebenarnya tidurnya benar-benar tidak memuaskan, karena hanya sebentar, apalagi malam sebelumnya aku tidurnya juga sebentar, siangnya juga tidak sempat tidur karena masih ada yang perlu dipersiapkan, ditambah lagi paginya tenagaku sudah terkuras buat main futsal. Huuffftt. Capek beudh.

Sesampainya di terminal, kalau tidak mau nyarter mobil, kami diberitaukan oleh pak supir bus untuk nunggu jam keberangkatan len saja, karena harganya lebih murah, hanya 3.500/orang. tapi sesampainya di tempat pemberangkatan len, kami merasa tertipu, harga yang dipasang tenyata 8.000, dengan nego dan cuap-cuap yang tak jelas, harga masih tetap saja tidak bergeming, kami pun menyerah. Kami memutuskan untuk istirahat dulu di emperan toko. Aku menghabiskan beberapa batang rokok. dengan harapan tidak pasti, kami menunggu ongkos lennya turun. Jangan bilang bahwa kami terlalu perhitungan, tapi kami memang butuh ongkos seminimal mungkin. Memperhitungkan hasil ahirnya, kami tidak ingin dana yang dihabiskan ternyata jauh membengkak dari perkiraan awal.

Kira-kira setengah jam kemudian, supir ankotnya datang dengan tawaran ongkosnya jadi 6.000, setelah berembuk, kami sepakat untuk mengambilnya. Tak lama kemudian kami menuju ke tumpang. Kurang lebih setengah jam-an kami telah sampai. Di tumpang kami memilih untuk naik truk sayur yang besar itu, agar cukup untuk memuat kami yang ber 24 orang. Ongkosnya, 30.000/orang. Masih terbilang mahal dan ada kemungkinan untuk diturunkan, Kami menego agar mau diturunkan ke angka 25. Awal mula bapaknya tidak mau. Alasannya, ini adalah harga yang sudah ditetapkan. Jika bapaknya menurunkan harga itu, maka besar kemungkinan bapaknya akan dapat sanksi moral dari supir yang lain. Kami paham, tapi kami juga butuh ongkos yang juga kecil. di ahir, bapaknya mau juga memberi potongan, bukan dengan menurunkan ongkos, tapi kami yang ber 24 itu diminta yang bayar cuman 20 orang, yang 4 orang gratis. Setelah dihitung ternyata itu sama saja ongkosnya jadi 25.000/orang. Ah, baik sekali bapaknya, Jadi kami sepakat, bapaknya senang kami pun juga bahagia. Ini sebenarnya hukum pasar yang sederhana, antara penjual dan pembeli itu saling membutuhkan, masalahnya adalah bagamaimana caranya kau membuat hukum itu menjadi keuntunganmu. Disinilah letak negoisasi dan pengetahuan dibutuhkan. Dan tidak mudah memang. Hahaha. Sok-sokan

Truknya mau berangkat setelah shubuh, jadi di tumpang kami beristirahat dulu, menyeduh kopi dan teh yang telah disediakan, teman-teman cewe’ ada yang membeli sayur untuk kebutuhan nanti di gunung. Setelah selesai sholat shubuh, kami diminta untuk naik truk karena bentar lagi akan berangkat. Ya bentar lagi, sepertinya sejam-an menunggu berdiri di atas truk bagi bapaknya masih terbilang sebentar. Jam 5 lewat kami baru berangkat.

Di ujung langit sudah mulai memerah, cahaya pelan-pelan merayap menyingkap gelap. Di perjalanan tak habisnya kami bercanda, meski dinginnya udara dan angin membekukan tangan kami. Sesekali kami berdecap kagum melihat pemandangan sekeliling. perkotaan dan gunung yang jauh di belakang kami, kotak-kotak ladang, bahkan pohon aple di halaman rumah orang yang beberapa kali coba kami gapai. Lebih dalam lagi memasuki wilayah pergunungan semeru, lebih indah lagi pemandangan yang disuguhkan. Gugusan bukit menjulang di samping kanan kiri kami dengan pepohonan hutannya yang lebat, kotak-kotak ladang yang ekstrem menurun, tapi sungguh memikat, hijau dimana-dimana, perumahan penduduk yang terkenana sinar matahari gunung, jalanannya yang terjal dan berkelak-kelok, kami juga melewati tempat saat scene 5 cm, ketika zafran bilang “dan taruh puncak itu 5cm di depan dahi kita”. Tak lama kemudian ada yang nyletuk

“kaya’ di film-film ya” spontan kami semua tertawa, tentu saja lah, dimana lagi shooting film-film itu di ambil kalau bukan di pegunungan. Ada juga yang bilang

“samudra di atas lautan” katanya dengan bangga. Hahaha Jenius, benar-benar pantas untuk jadi korban pembully-an. Mungkin maksudnya adalah samudra di atas awan.


truk yang kami pakai dan menyiapkan perijinan
  2 jam-an kami sampai di resort ranu pane, meskipun aga’ kecewa karena ranu-nya dibiarkan tak terawat begitu. Sangat kotor, sampah ada dimana-mana. Yeah, hanya sebatas bentuk rasa kekecewaan. Hmm, hmmm, hmm.

warung makan
Perut sudah bergoyang tidak jelas, setelah menyelesaikan prosedur prijinan. kami lalu makan di warung, nama warungnya, aku tidak tau. Rawon plus teh anget, ada juga yang pake’ lodeh dengan telor. Apapun makanannya, sebeda apapun yang kami makan saat itu. Nanti setelah di atas gunung, apalagi setelah memakan masakan pertama waktu di ranu kumbolo. Kami dengan sangat sadar sepakat, makanan diwarung itulah makanan terenak terahir, yang melewati lidah kami sebelum muncak. 

  Setelah semuanya siap, doa pun telah selesai dipanjatkan. Kira jam 9 nan, Kami memulai menempuh perjalanan panjang ke puncak semeru. Ini adalah ke-6 kalinya aku mendaki. Di awal perjalanan semuanya lancar. Jalanan masih landai bahkan menurun, setelah mamasuki gapura “selamat datang para pendaki”, jalannya langsung menanjak. Aku sempat tertinggal dibelakang karena membantu temanku membenarkan tas carriernya.

Setelah tanjakan pertama, kami langsung berhenti. Membenarkan nafas dan mengatur posisi. Selanjutnya aku tidak bisa menjelaskannya secara detil sampai ke ranu kumbolo, jika tetap ingin tau, kau hanya perlu tau setidaknya satu kali pernah naik gunung. Perjalanannya kurang lebih sama. Capeknya, bawaannya yang memberati punggung, dada yang benar-benar dipompa habis-habisan, kaki yang serasa tidak mampu melangkah lagi, dan tempat pemberhentian yang tidak terhitung lagi jumlahnya. jika kau bertanya kenapa mesti melakukan hal yang menyiksa seperti itu, aku mungkin tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, tapi izinkan aku mengatakan ini.

Di dunia ini kadang ada hal yang tidak bisa kau jelaskan, seindah apapun kata-katamu, selancar apapun grammar yang telah kau kuasai, tapi yang perlu kau lakukan hanyalah membiarkan hal itu mengalir, mengalir dengan tenang dan perlahan di tubuhmu, di hatimu, tanpa merusaknya dengan interpretasi akal yang terbatas.

Di ranu kumbolo, aku dan seorang temanku datang mengawali. aku memang buru-buru karena aku membawa 2 tas carrier, di depan dan belakang, tas yang satunya adalah milik mba’ku. Jika aku memakan waktu lebih lama, itu hanya akan menambah rasa sakit di pundak. Bukan karena terpaksa aku harus meninggalkan yang lain dibelakang, tapi itu memang yang harus ku lakukan. Ini terjadi mulai dari pos 3 sampai kesini, ke ranu kumbolo. Katakan saja bahwa aku sok kuat dan keren dengan melakukannya, aku sama sekali tak menolaknya, apalagi aku memang kuat dan keren, sangat keren. Atau anggap saja karena pencitraan yang belakangan ini sering menjadi komentar orang-orang terhadap perpolitikan. Ah, menghayal liarlah sesukamu.

kata keluarga itu tak datang dari kata-kata manis dan indah yang meluncur dengan mudah dari mulut, tapi dari seberapa jauh cinta tumbuh dihatimu pada orang yang kau sebut keluarga itu, melihatnya bahagia adalah kebahagian juga bagimu, bahagianya adalah tanggung jawabmu.”

Ranu Kumbolo
Dipinggir ranu, kami beristirahat sambil berjemur, nikmat sekali rasanya. kami sulut rokok Sambil menunggu teman-teman yang lain. Ada rasa tenang yang ditimbulkan oleh riak-riak air ranu, arakan awan tipis di langit. Ranu kumbolo letaknya di tengah-tengah lembah, dikelilingi bukit-bukit yang salah satunya di namakan tanjakan cinta, bentuk ranunya tidak beraturan-seperti bentuk ranu pada umumnya-, bentuk lonjong besar yang disalah satu sudutnya memanjang ke samping. Dan di belakang kami ada savana luas yang di apit oleh bukit telatabis. Indah tentu saja. Tinggi ranu kumolo +- 2400 mdpl dengan luas 15 ha.

bukit teletabis
2 batang rokok telah habis, lalu jadi sedikit galau karena teman-teman belum datang juga. Ahirnya kami memutuskan untuk tidur dulu, tapi tak lama kemudian ada suara jauh di seberang ranu yang memanggil nama kami. kira-kira sejam-an dari pertama kali kami datang. Setelah lama kami menunggu, ada rasa kecewa dengan datangnya mereka. Kami telah lama menunggu disini, tapi mereka malah memilih membangun tenda jauh disebrang tempat kami berada. Meskipun ada sedikit ‘miss’ untuk tempat dimana membangun tenda, semuanya terselesaikan tanpa ada korban jiwa. Iiihh. Serem,

“Ketika ada sesuatu yang menggangumu, ketika ada sesuatu yang sampai membuatmu kesal, bahkan sampai emosimu seperti tak tertahankan lagi. Akan ada banyak spekulasi yang menyerbumu. jangan heran jika spekulasi itu kebanyakan mengarah pada hal yang  buruk.  Tapi ingat, tanpa bukti, spekulasimu itu tetaplah menjadi hipotesa. Jika kau mengambil kesimpulan hanya dari spekulasimu itu, sama saja itu menjadi bukti bahwa kau termakan emosimu sendiri. Kau kalah, Kau membiarkan dirimu menjadi bodoh. Jika ada yang kurang jelas, maka tanyakanlah. karena mungkin ada alasan pada setiap sesuatunya, Jika itu berhubungan dengan orang lain, maka tanyakanlah kenapa dia melakukannya. Jangan sampai kau mengambil tindakan dari spekulasi bodoh tanpa bukti itu, karena suatu saat kau pasti akan menyesalinya.

Nanti, mungkin spekulasimu terbukti benar, tapi bisa juga salah. Yang terpenting adalah kau tidak membiarkan dirimu membenarkan diri secara sepihak, lalu mebuat dirimu menutup diri dari berbagai kemungkinan lain, membuatmu jadi bodoh. Jangan merusak dirimu sendiri dari dalam karena keangkuhan dari pembenaran diri secara sepihak”.

        Mulai Sore sampai sehabis maghrib hari itu, dihabiskan teman-teman untuk memasak, aga’ sulit untuk memasak memang, karena hujan sering turun secara tiba-tiba, apalagi ketika teman-teman ditanya, ternyata ini baru pertama kalinya mereka masak. Ah, perfect. Dan tereng, jadilah nasi yang kami makan aga’ sedikit seperti makanan burung. Nasinya masih kurang matang. Jangan tersinggung, selama mendaki, aku sudah sering makan masakan seperti ini. Dikarenakan memang cara memasak nasi di tempat peradaban dan di gunung sangat berbeda, apalagi bagi yang di peradaban belum pernah masak. Memang perlu belajar dan tau teorinya. Itu saja. Aku juga pernah mencobanya, memasak nasi di atas gunung. Di bawah saja aku ga’ pernah masak, malah sok-sokan masak di atas gunung. maka jadilah seluruh teman se pendakianku trauma terhadap sarden, karena dimakan berdampingan dengan nasi seperti makanan burung itu. Terkecuali bagi satu temenku, awalnya katanya mau makan dikit aja, eh malah nambah terus dan habis paling dulu.
                 
          Yang tak kalah perfect juga, makanan di sore itu adalah sop menggunakan bumbu ‘mie sedap rasa soto’. jenius, sepertinya teman-temanku yang masak itu punya bakat untuk jadi koki. salah satu temanku sampai ada yang bilang keesokan harinya. katanya ‘Sop kemaren itu enak banget ya, aku ga’ pernah makan masakan yang seperti itu sebelumnya’. Tentu saja, dan cukup dia sajalah yang berkomentar seperti itu.

Kalau tau akan terjadi hal seperti ini, ingin rasanya kubiarkan saja sesuap rawon di warung tadi, tetap di mulutku sampai nanti turun lagi. Hahaha. Bercanda. But for all, terima kasih atas hidangannya. Makanan di atas gunung itu adalah salah satu masalah yang paling krusial, karena menjadi sumber utama energi kita untuk perjalanan selanjutnya dan kalian telah memberikan yang terbaik pada kami, terima kasih banyak… hiks, hiks, hiks.
          
        Sehabis makan, kebanyakan dari kami langsung istirahat di dalam tenda, tapi ada juga yang masih bikin minuman anget-anget dan masak mie. Kira-kira jam 9 nan malam semua aktfitas sudah berhenti. Letak tenda kami menyendiri(menjauh) dari letak tenda pendaki lain, jadilah malam itu seperti kami lah pemilik wilayah itu. Keadaan seperti itu sepertinya sangat penting bagi teman-teman yang lain.

Ke esokan harinya, kira-kira jam setengah 11-an, kami telah siap melakukan perjalanan ke kalimati, tempat camp terahir, sebelum malamnya kami akan melanjutkan summit ke puncak semeru. Perut pun telah terisi dengan masakan yang jauh lebih baik dari hari sebelumnya. Kami juga telah melakukan perenggangan dan senam ringan, agar tidak mudah kram dan salah urat.

Sebelum sampai di tanjakan cinta, tepatnya di belakang shelter ranu kumbolo, kami terlebih dulu harus jalan memutari ranu kumbolo kira-kira ¾ kelilingnya, lumayan jauh. Tapi ini namanya juga pendakian. Perjalanan berat dan lelah adalah salah satu bagiannya yang tak terpisahkan.

Jam setengah 12-an kami sampai di shelter. beristirahat sebentar dan mengisi air minum yang telah kosong. Di saat itulah kami harus kekurangan anggota. Kakak dan maba’ku harus balik, karena kondisi mba’ku sudah tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan. Ketika awalnya kau berangkat bersama dan harus kekurangan anggotamu di waktu perjalanan, itu seperti ada sesuatu yang hilang di dada, ada ruang kosong yang terbentuk. –Alay-. tapi ya gimana lagi. Kami harus merelakan mereka balik duluan. Selamat jalan, masih ada banyak waktu di hari esok.

Tanjakan Cinta

Diperjalanan ke tanjakan cinta, aku bincang-bincang dengan seorang temanku. Membahas hal yang tidak penting sebenarnya. Lalu dia nanya siapa yang aku pikirkan nanti.
 “siapa juga yang akan kupikirkan, aku tak akan memikirkan siapapun” kataku

Dengan langkah berat kupijakan kakiku pada tanjakan cinta, aku nanjak duluan dengan temanku yang satu itu, teman-teman yang lain masih asik photo-photo dan meliat memoriam di ranu kumbolo. Ya, tak ada alasan bagiku untuk memikirkan siapapun. Konyol sekali sebenarnya mempercayai hal seperti itu, mempercayai bahwa seorang yang dipirkan selama menapaki tanjakan cinta, tanpa menoleh ke belakang, maka cintanya akan terwujud. Tak ada bukti ilmiah, bahkan mitospun ku pikir itu juga bukan. Benar-benar konyol, orang yang pertama kali mengarang-ngarang cerita ini, pasti sampai ahir hayatnya sangat puas, karena mampu menipu banyak orang sampai sekarang…

Ada siluet wajah yang mengendap
rumput bahkan tak berbisik
ada pendaran cahaya pada selembar daun yang jatuh perlahan
maka, hantarkanlah wahai angin

Sesampainya di ujung tanjakan rasanya benar-benar lega, bukan, dadaku kerasa terbakar, apalagi karena beberapa batang rokok yang kuhabiskan sebelum berangkat. Senang rasanya melihat teman-teman masih berjuang, sedangkan aku sudah duduk santai. Nikmat sekali melihat kesengsaraan orang lain. Hahahaha. Ada yang keliahatan galau, lalu sering menoleh ke belakang, ada yang sudah duduk saja di jalan tanjakan, sambil melihat kearah ranu kumbolo. Ada yang sudah beberapa kali berhenti, tapi enggan menoleh ke belakang. Ahirnya aku sedikit memahami.

“tetaplah melihat lurus ke depan, seberat apapun di pundakmu, seperih apapun kakimu telah melangkah. jangan menyerah, jangan sekalipun menoleh kebelakang, jangan pernah ingin kembali karena apa yang telah kau lakukan sejauh ini, biarkan yang telah lalu tetap menjadi kenangan, sebodoh apapun kau di saat itu, seburuk apapun atau bahkan senyaman apapun dirimu, karena kehidupan masih membentang ke depan dan setelah kau sampai di ‘ujung’, kau akan tau bahwa itu adalah sesuatu yang pantas kau perjuangkan. Karena di hatilah tempatmu benar-benar hidup”

Angin di ujung tanjakan begitu segar. Cahaya matahari berpendar, menyusup dedaunan dan ranting pepohonan

to be continued...........

Dimensi Tak Hingga © 2014