Tuesday, January 29, 2013

Pulau Sempu: Kera dan Anjing liar

Tuesday, January 29, 2013


17-01-2012(liburan semester 5)

Waktu itu sore hari, kira-kira jam 4 pm. langit aga’ mendung, musim hujan. Aku bersiap di secretariat, tempat awal pemberangkatan adalah dari kostan teman-temanku dan disana kami ketambahan seorang anggota, dio. dari sana juga, kami membawa alas untuk tenda yaitu 2 tikar, bukan tikar plastic. Setelahnya aku meminjam kompor gas dan panci ke kostan kakakku. Bawaan sepertinya sudah lengkap, tendanya? Kami berencana nyewa di Malang, untuk penghematan sewa perharinya. Alamatnya aku peroleh lewat internet beserta cp nya. Jadi kami sudah siap bukan?! bawaanku di tas juga hanya sepotong baju ganti. Jam setengah 5 pm kami berangkat dari Surabaya.

Rencana pergi ke sempu ini awalnya sebenarnya iseng-iseng. Benar-benar pasti berangkat itu juga pas pagi harinya, kalau bisa dibilang begitu. Setelah UAS sebelum jum’atan, di kostan kami searching tempat persewaan tenda, dapat alamatnya, kami pun siap berangkat. Yah begitulah. Ga’ perlu repot-repot, lagian kami beranggotakan para lelaki. Makanannyapun ntar cuma mie instan, itupun rencananya kami beli nanti di perjalanan ketika sudah dekat dengan pantainya. satu lagi, kami tidak ada yang tau rute ke arah pulau Sempu. waktu liat di peta, google map, hanya untuk memperkirakan arah, jarak dan waktu tempuhnya perjalanan, kau tak bisa berharap banyak pada peta selain untuk itu. But, its oke. Cuman masalah rute bisa diatasi kemudian.

Ini adalah acara ngamping kami yang pertama. Bukan di gunung, tapi di pantai, mereka lebih suka yang ada lautnya, memberikan nuansa drama katanya. dasar orang-orang aneh. Jadi Dimulailah petualangan para lelaki.  Atho', Dio, Aku, Arista  dan Tommy.


Kira-kira jam 7-an pm kami sudah memasuki kota Malang, di lawang, kami berhenti dulu. tenang, bukan untuk godain cewe’. meskipun waktu itu kami masih pada jomblo(kecuali satu orang), tapi sebenarnya kami lumayan populer. penting ga’ ini.

Ada yang jualan nasi goreng, kami samperin. “pak, tau alamat ini ga?” tentu, ada urusan lain apalagi kalau bukan untuk menanyakan alamat, alamat ke penyewaan tenda. Kami benar-benar buta arah. Sebenarnya Tommy pernah satu tahun tinggal di Malang, tapi dia bilang ga’ tau juga alamat itu. Pilihan terahir memang nanya orang, lebih simple dan praktis, tapi bapak yang kami tanyakan itu juga ga’ bisa bantu banyak, tempatnya ternyata masih jauh dan banyak belokannya. But it’s oke, itu hanya hal kecil.

benar-benar mukjizat, teknologi itu sungguh keajaiban. Singkat cerita, Arista ingat kalau hp-nya bisa buat gps, masalah kami ke tempat penyewaan tenda sudah selesai, kan? Kami kira juga begitu. Singkat cerita juga, dengan damai kami sampai di persimpangan ke jl. ***(jangan Tanya alamtnya apa, kami semua sudah lupa), kebetulan ada pos polisi di depan persimpangan itu, kami tanyakan, ternyata betul itu ke jl.***. Benar-benar perjalanan yang tanpa rintangan sedikitpun. Setelahnya kami tinggal cari no. alamatnya saja.

kami hanya tinggal mengikuti Panah gps saja. Setelah sekian menit, titik gps berhenti tepat di depan rumah sakit(kami juga lupa nama rumah sakitnya apa), berarti tempat persewaannya dekat situ kami pikir. Yah lagi-lagi, tinggal nanya orang dekat situ. Toko di depan kami samperin, tapi ibunya jawab ga’ tau. yah ibu’, daerah sendiri koq malah ga’ tau. Jadinya kami beralih ke warung makanan, masnya malah jawab

“oh, kalau itu ga’ tau, tapi kalau tenda buat kemanten itu ada de’, masuk gang situ aja”. Plis deh, jadinya cetar membahana, ampun pak de. kami nanya orang-orang di situ pun ternyata ga’ ada yang tau, alamat dengan no.itu pun mereka sepertinya belum pernah dengar. Apa kami kelewatan ya. ahirnya kami balik lagi menyusuri jalan yang tadi, tiap ada toko kami berhenti, siapa tau itu tempatnya, tapi tetap  ga’ ada yang tau, kami balik lagi ke depan rumah sakit itu. kurang yakin, takut orang-orang yang kami tanyakan waktu itu sedang ngelindur, kami tanyakan sekali lagi. Dan apa coba jawabannya, sungguh keajaiban.

“oh, ada dek, tenda buat nikahan ya, masuk gang situ, ntar tokonya kelihatan koq” iya deh mas, waktu itu kami sudah mulai galau kawan. Sudah 45 menit-an muter-muter. Kata-kata masnya itu ahirnya kami percayai saja, siapa tau di situ memang tempat penyewaannya. tapi kalau ternyata ga’ menyewakan tenda camping, kami kan bisa ntar camping pake’ terop itu, mungkin kera-kera hutan ntar mau jadi dayang, ntah siapa yang mau jadi mantennya aku ga’ tau. oke, ga’ penting lagi. my… kami harus kembali dari ‘tempat kata masnya itu’ dengan tangan kosong.

Dimana tempatmu tenda?! Mungkin kalian salah alamat. Tidak kawan, kami sudah nelpon dan alamatnya sudah benar dan katanya dekat situ. Jadi apa selanjutnya yang harus kami lakukan? Coba dengarkan, Ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ckakakaka….

kami balik dulu ke pos polisi tadi, nanya sekali lagi. Aku sangat  berharap bahwa jl. *** bukan di situ, mungkin ada jl. *** yang lain. Tapi pak polisinya sungguh tega. Itulah satu-satunya jl. *** di Malang. Jadi dengan sangat kecewa kami balik lagi. Perutpun sudah meronta-ronta, tapi kami ga’ bakal makan sebelum tenda didapatkan.

Semua daerah disitu ahirnya kami telusuri sedetail-detailnya. Gang-gang kecil bablas, depan rumah orang, undakan terjal yang membuat kami harus turun dari motor, semuanya bablas. nanya ke kantor camat pun sudah, apa coba’ katanya; “ga’ ada alamat itu dek”, perumahan sudah gelap, jm 10 an pm lewat. waktu itu aku benar-benar sudah pengen banting ster balik ke Surabaya. Rencana nekatpun bermunculan, bagaimana kalau tendanya ganti aja pake’ jas hujan.

Ah, tapi pepatah memang selalu tepat kawan. “Pucuk dicinta ulampun tiba” . Dan sekali-kali kau memang perlu melihat ke atas. Setelah berjuta-juta kali melewati jl. di dekatnya rumah sakit itu, jarak 3 gang mungkin, dengan hati berkecamuk ga’ karuan tak sengaja melihat ke atas. Disitulah letaknya kawan, di lt.2, dengan spanduk apa adanya dengan tulisan “nah kan, lupa juga namanya apa”, lt.1 nya digunakan untuk toko kelontong, di depannya kantor camat. ga’ persis di depannya seh, tapi coba banyangkan. Bertepatan dengan itu juga, Tommy nanya, ahirnya di antara sekian banyak orang yang ditanya, ada ibu’-ibu’ yang tau alamat itu.

Tenda pun kemudian di dapat dengan kapasitas 6 orang(20 rb/hr), di tempat itu pula kami beli gas satu kaleng karena kami hanya camping satu malam satu hari. Waktu itu malam sabtu, kami nyewa tenda 2 hr, terhitung mulai dari sabtu sampai minggu. Malam itu Kami berencana nginap di kontrakan temannya Tommy yang masih tinggal di Malang, berada di perkampusan Brawijaya, kami harus putar arah lagi untuk sampai ke sana. Sekarang waktunya untuk makan, kemudian tidur. besoknya baru dilanjutkan perjalanan ke pulau sempu.

Tempat persewaan tenda itu ternyata se arah ke pulau sempu, jadi besoknya kami melewati jalan itu lagi. Ada rasa keakraban saat melewati jalan itu. Yah, sedikit mendramatisir.

18-01-2012

Pagi-pagi sekali setelah mandi dengan air sedingin es, kami berangkat melanjutkan perjalanan. Pagi yang indah, waktu pagi memang selalu bisa membuat hati cerah. langit biru, arakan tipis awan, cahaya segar matahari, embun pagi. Benar-benar sempurna untuk mengawali hari.

Setelah lumayan lama, ahirnya kami dapati juga yang sudah buka jualan nasi. Rp. 2500/piring kalau ga’ salah. Terkejut?! Kami juga terkejut waktu itu. Porsinya memang seadanya. Tempe, penyek + nasi pecel. Memang tidak begitu mengenyangkan, tapi setidaknya cukuplah untuk sumber energy. Kira-kira jam 8 am kami berangkat lagi. Tak lupa diperjalanan kami berhenti dulu di mart untuk beli komsumsi dan kopi, juga tiap orang bawa air 2 botol besar, di sempu ga’ ada mata air.

Rute yang kami lalui lumayan mudah. semalam waktu nyewa tenda, kami telah di beri arahan oleh masnya. Kami tidak memakai gps lagi, Baterai sangat berharga untuk waktu sekarang ini kawan. Singkat cerita lagi, kami berada di kawasan jalan berbukit,  berarti kami hampir sampai. kalau mau tau, jalannya bersebelahan dengan jurang, naik ataupun turun dengan terjal dan berkelok-kelok tentu saja. Lumayan menyenangkan. Kecepatan dan tantangan memang selalu mampu membuat benar-benar hidup. apalagi pemandangan di sekeliling kami masih hijau, juga dibawah kami terhampar perkebunan dan sawah yang sangat luas dengan beberapa pemukiman penduduk. Beberapa kali kami berhenti untuk menikmatinya.

Lalu beberapa puluh menit pun berlalu, kira-kira jam ½ 10-an am. selamat datang di Sendang Biru kawan, pemberhentian terahir sebelum menyebrang ke pulau sempu. Untuk biaya masuk dikenakan rp 6000/orang. Setelah memarkir motor di tempat yang telah disediakan, Aku dan Arista langsung menuju tempat perijinan. Di tempat perijinan ada tante dari national geograpi yang sedang berbincang dengan bapak penjaganya. Banyak sekali yang diobrolkan. Intinya adalah pelestarian dan peningkatan infrastruktur di pulau sempu. Sejaman kami menunggu, mereka belum selesai juga. Gelisah itu adalah ketika kau menunggu seseorang, tapi orang yang kau tunggu itu pura-pura ga’ tau bahwa sedang kau tunggu. jadinya untuk mengisi waktu itu, kami sampai hapal pajangan yang ada di dinding pos perijinan. mulai dari rute jalan sempu ke segara anakan, biota-nya, kegiatan pemungutan sampah dan juga yang mengalami kecelakan serius karena bermain di gua segara anakan-nya. Ironis, maksud hati untuk bersenang-senang, tapi pulang harus dengan ditandu.

Prosedur perijinannya tidak rumit, cukup mengisi jumlah orang, berapa lama kami akan tinggal di sempu-sama seperti perijinan untuk memasuki kawasan lindung biasanya- dan diminta memberi sumbangan secukupnya. Kami mengasih 20 rb. oleh bapaknya kami diberi arahan untuk membawa kembali sampah yang kami bawa, tidak merusak hutan, pokoknya sama seperti arahan untuk memasuki kawasan lindung biasanya. Kami juga diberi tau bahwa jalanannya nanti sangat becek dengan di beberapa tempat banyak karang yang tajam, kami disarankan untuk menyewa sepatu khusus di jalan seperti itu, 10 rb/hr. Terima kasih, tapi beceknya juga bakal seperti apa, karangnya juga bakal seperti apa pikir kami. Ah, itu cuman becek kawan, maksudku itu bukan seperti jalan berapi dengan meteor yang berjatuhan, kan. Sebelumnya aku juga sudah diberitahu Huda waktu ku ajak, sempu waktu musim hujan benar-benar becek kata temannya.
Oke, teman-taman yang lain pun(Tommy, Atho’ dan Dio) telah mendapatkan perahu yang akan menyebrangkan kami, lalu kesepakatanpun dibuat dengan mas perahunya, ntah kebetulan atau apa, mukanya mirip salah seorang teman akrab kami yang tlah pindah kuliah. Sewanya 100 rb/perahu, pulang-pergi, kapasitasnya bisa sampai menampung 13 orang, kami balik dari pulau sempu setelah berapa hari pun ga’ masalah, yang penting hari masih siang ketika kami minta dijemput dengan ditelpon. Sebelum berangkat, kami ganti ke pakain perjalanan, dari yang pakainya sepatu ada yang ganti pakai sandal, celana jeans ganti celana pendek. Aku sendiri tetap dengan kemeja hitam, celana krem dan sepatu ketsku. Aku tau jalannya nanti becek(itu cuman becek, jalan becek separah apa sih) dan karena sekarang musim hujan, pohon-pohon pasti basah dan ber-lumut. ga’ masalah. Karena itu ga’ lebih penting daripada kau sampai ditempat camping dan ternyata ada cewe’ manis, kau bisa langsung mengedipkan mata ke arahnya kan, dengan tampilan yang keren itu pasti sangat membantu. Ckakakakaka….

Ditemani bau garam yang dibawa angin laut, ombak kecil yang sekali-kali mengahantam perahu kami, terumbu karang di dasar laut yang tampak jelas karena air laut benar-benar jernih dan langit yang biru cerah, Kami mulai menyebrang untuk sampai ke pulau sempu. Kira-kira jam ½ 11-an am.


15 menit kemudian kami sampai di pulau sempu, tujuan camping kami adalah di segara anakan, normal katanya 1 ½ jam perjalanan, tinggal mengikuti jalan yang sudah ada. Sampai di pantai, kami langsung memasuki hutan, mengikuti rute. tapi, Oh, ini sungguh-sungguh keterlaluan, katanya jalannya becek, bukan, itu sama sekali salah. Ini bukan jalan kawan, lebih tepatnya adalah kubangan lumpur yang berwarna hitam. Sekali kami menginjaknya, kaki langsung terperosok ke dalam, sangat sulit untuk mengangkatnya lagi. Sepatu bukan pilihan tepat, apalagi sandal. Di perparah juga, dibawah jalan yang telah jadi lumpur itu, di beberapa tempat terdapat karang dan akar-akar pohon yang besar. Jadi sekarang apa yang tersisa untuk kami? ada yang masih tetap pakai sepatu, tapi sebagaian dari kami ahirnya memilih untuk nyeker, termasuk aku. Karangnya ada yang masih bisa di lewati dengan sangat hati-hati, walaupun masih meninggalkan rasa sakit ketik menginjaknya. Solusi lain pun kami mencari jalan alternative dan bergelantungan di pinggir-pinggirnya, kalau memang ada dan memungkinkan.

Seperti itulah cerita sebagaian besar perjalanan kami untuk sampai ke segara anakan. Jalan yang jadi lumpur, sering kali menjebak kaki dan hampir membuat kami jatuh, beberapa kali telah terjadi, sangat licin. Karang-karang yang tajam, jika jatuh di atasnya sudah pasti kau akan berahir dimana, membuat kami harus bergantungan pada pohon-pohon kecil, pada akar-akar rambatnya pohon yang sudah tua. Kami benar-benar di dalam hutan, dengan pepohonannya yang sangat rapat, tinggi-tinggi dan sudah berumur sekian abad, sesekali kami melihat sejenis burung yang besar di puncak dahannya. Banyak juga pohon yang tumbang, jadinya kami harus mengitarinya dulu, ada juga jalan yang masih banjir tergenang air. sering kali juga kami tertipu, mengira telah mendengar deburan ombak segara anakan. dengan jalan setapak yang telah jadi lumpur itu, membuat perjalanan ini benar-benar tak habis pikir.

Iya, ada lagi yang masih belum kuceritakan, tante dari national geographi itu ternyata ke sempu untuk penelitian, di dampingi suami bulenya dan anak gadisnya yang masih berumur 7 th. Mereka tentu saja nyewa porter/guider(kasarnya, adalah dewa penyelamat untuk mengangkatkan barang). waktu di hutan, mulai dari awal perjalanan, kebetulan kami berbarengan dengan mereka. Dengan sepatu yang memang khusus untuk jalan seperti itu, dengan mantap mereka berjalan, kami? kami harus tertatih-tatih dibelakang mereka, dengan sesekali pantat harus mencium jalanan hutan sempu.

Di suatu waktu, suaminya akan memoto keadaan sekitar. di suatu waktu pula, jika ada hewan liar, kami semua disuruh diam, agar hewannya tidak kabur untuk diphoto. Kami melakukannya dengan senang, apalagi yang lebih menyenangkan selain punya teman seperjalanan kan. Tapi itu tidak berlangsung lama kawan. di suatu waktu, dengan sinar matahari terik yang menembus rapatnya daun dan dahan pepohonan, lumpur yang telah mesra menempel di sebagian tubuh kami, bau basah pepohonan hutan, di suatu waktu itulah kami harus benar-benar diam, karena sang suami harus memoto kera yang sangat besar(besarnya mungkin seperti salah seorang temanku) yang sedang bertengger di puncak pohon. Kami semua diam dengan patuh.

Jepret, photo pun telah di ambil, tapi si raja pohon ternyta tau kalau sedang diphoto dan langsung memerkan gigi-giginya yang tajam itu pada kami, jangan salah paham, bukan untuk berpose tentu saja. Itu ditunjukkan untuk mengancam kami karena dianggap telah mengganggu dan memasuki teritorinya. Keadaan tiba-tiba menjadi thriller. dia langsung membuat kegaduhan di atas pohon, memalak, loncat dari pohon satu ke yang satunya, juga mengancam dengan menjatuhkan buah-seperti nangka- dari atas pohon, BRUUUK! Kami langsung tercekat membatu. Bukannya mereda, tapi malah ada temannya yang ikut nimbrung, keadaan tambah gaduh dan semakin tak terkendali, tapi para gerombolan dari national geographi itu malah pergi meninggalkan kami. posisinya kami memang aga’ tertinggal di belakang. Sial. Kami semua masih terpaku, tidak mau mengundang perhatian lebih jauh lagi dengan bergerak. Keadaan sudah sangat mirip dengan adegan di film indiana jones. Pilihan terahir, kami harus siap berperang, bayangan buruk sudah berkelabatan tak karuan.

/*       mungkin Kabur adalah satu-satunya cara, tapi kami tak sepengecut itu. bagi lelaki, itu bukanlah pilihan. Dengan pelan-pelan kami meletakkan semua bawaan di atas tanah. Ransel, tenda, koper gas, panci, sandal jepit, sepatu, semuanya. Lalu dengan tenang, kami semua menengadah ke atas langit. Betapa indah langit waktu itu, biru dengan beberapa arakan awan putih yang anggun. Aroma basah pohon, tetes air di dedaunan, lumut hijau, jalan yang telah jadi lumpur dan berkarang ini. Kenangan di hutan itu takkan kami lupakan. Tiba-tiba ada rasa hening yang melanda, meskipun sebenarnya keadaan dia atas pohon sudah sangat kacau, kera itu memanggil kelompoknya. Apalagi pilihan kami?!.

HYYYYYYYYYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!


BREAK BENTAR …………………………………………………………….


Ironis, kami kesini bukan untuk bercengkrama dengan hewan liar kawan. Ampun pak kera. Eh, Tanpa diduga kegaduhan ternyata semakin hilang, lalu hening. Merasa sudah cukup aman, kami kemudian pergi dengan selamat(benar-benar di luar dugaan), dengan tergesa-gesa tentu saja. Selanjutnya kalau kebetulan berpapasan, kami selalu menjauhkan diri dari para gerombolan national geographi itu, satu kali ditinggal bersama hewan liar sudah cukup bagi kami. meskipun pada ahirnya kami sering kali juga berbarengan dengan mereka lagi.

3 jam kemudian, masih di dalam hutan, kami dihadapkan dengan titian yang sudah rusak, tidak panjang , kira-kira 3 m. Kalau nekat lewat situ, jatuh adalah hal yang benar-benar tidak kami harapkan. Meskipun tidak terlalu tinggi, karang telah siap menanti di bawah. kami memilih berjalan lewat bawah, kami pun sampai di sebrang.

here we go, air  laut berada di pinggir kanan bawah kami, biru dengan pasir putihnya di dasar, langit sangat cerah, di kejauhan sesekali kami mendengar deburan ombak yang menghempas segara anakan. Ya, kami telah sampai, kira-kira jam 2 pm. Ahirnya, setelah berjuang mati-matian dan misuh sudah benar-benar nyangkut di tenggorokan. luar biasa kawan, rasanya seperti kau dicium katrina kaif, diamnya saja sudah bikin hati luluh, kau malah dapat ciumannya. Coba bayangkan!!! Tapi sudahlah, ga’ usah terlalu keras dibayangkan. Aku juga ga’ tau seperti apa.

Ada satu rahasia yang ingin ku katakan, memakai celana jeans dengan medan seperti itu benar-benar pilihan yang buruk, apalagi jika celanamu sering melorot ditambah kau harus membawa tenda yang seperti meriam itu.  Yah, sebenarnya aku sudah menyiapkan celana pendek di balik jeans-nya, tapi buka celana di perjalanan itu sudah tidak memungkinkan lagi.

Sesampainya di segara anakan kami langsung membangun tenda, buka baju lalu langsung terjun ke laut. Segara anakan itu seperti danau, tapi dengan air laut. Sebuah cekungan besar di dalam pulau yang dikelilingi tebing yang menjulang, air laut masuk dari lubang(disebut segara anakan) yang terjadi akibat erosi berabad-abad silam. jadi siklus air di dalam pulau juga mengikuti keadaan air laut di luar tebing. Ada pasir putihnya juga, layaknya pantai pada umumnya. Jadi sebut saja tempat itu adalah lautan beserta pantainya di dalam pulau yang dikelilingi jalinan tebing. Indah tentu saja. Disana ada juga monyet, banyak. Tapi monyet yang satu ini tidak berbahaya, mereka hanya mendekat untuk mencari makanan sisa. Dari semua itu satu hal yang patut disayankan, meskipun ada pe-camping lain, tapi ga’ ada gadis yang bisa kami kedipkan mata.

 Puas berenang di laut, perut ternyata masih belum diisi. Mie mangkok pun masing-masing telah kami keluarkan. Tapi ntah apa lagi, teryata nasib senang kali mengajak bercanda. Kaleng gas yang kami beli ujungnya sedikit bengkok, jadinya ketika dimasukkan ke kompor, ga bisa pas. Api tidak keluar sama sekali, dicoba berapa kalipun tidak bisa. Sekali lagi kami hampir putus asa. Makan mienya mentahan aja, kopinya? Langsung minum aja ga’ usah diseduh. Tapi datangnya penyelamat memang dari mana saja kawan, teman dari ITB yang membangun tenda di sebelah kami, mencoba membenahinya. Tapi hasilnya tetap nihil. Setidaknya mereka sudah membantu. Pilihan terahir? kami terus berusaha mencobanya, ntah sudah berapa kali, seribu kali mungkin seperti thomas a. edisson, dengan sedikit dipaksa ahirnya bisa juga. Hoorree. Api birunya keluar dengan sangat anggun. Horrree. Bahagianya. Kalau ini rasanya seperti kau bisa menghidupkan kompor saat benar-benar memang dibutuhkan. -_-
our beloved tenda





Setelah makan, menyeduh kopi, dan menyulut rokok. Kami mengitari segara anakan. Tujuan pertama kami adalah tebing di belakang tempat tenda.







tebing di belakang tenda




Gerimis tiba-tiba mengguyur, terpaksa kami harus balik. di saat itulah kawan, aku sebenarnya tidak mau mengikutsertakan cerita ini, tapi temanku bersikeras selalu menceritakannya ketika kami mengobrol tentang waktu itu. Waktu kami mau balik, ada segerombolan bidadari yang datang dari dalam hutan. Ber-5 juga kalau ga’ salah. Jadi, apakah ini pertanda bahwa sekarang kami bisa mengedipkan mata?  -_- . Tapi mereka hanya sebentar di pantai, pukul 5-an pm sudah balik, lama setelah gerombolan dari national geographi pulang.

sehabis sholat maghrib, kami semua langsung tidur. malam-malam kami bangun lagi, bintang sudah bertebaran di langit, pantai semakin memanjang dan meluas karena air menyurut, pasirnya pun sudah mengering. Gelap, ga’ ada penerangan apapun kecuali dari api unggun, sinyal pun ga’ ada disana. Kami seperti benar-benar terasing dari kehidupan luar. Tapi kami bangun bukan hanya untuk menikmati keheningan alam, kami tidak sepuitis atau sepeka itu. ada yang lebih mendesak untuk dilakukan. Sebagian dari kami buka lapak, itu istilahnya. Memang tidak higienes, ga’ ada wc tentu saja. Dimana-mana tempat camping memang seperti itu, kau harus buat lubang dulu untuk buang air. Air yang digunakan untuk bersesuci diambil dari air laut dengan menggunakan botol. Setelah lumayan puas duduk-duduk di pantai, kami kembali memasuki tenda, melanjutkan mimpi.

19-01-2012

anggota Belalang Tempur(belum lengkap), Pagi di Pulau Sempu.


Keesokan harinya, setelah makan, kami melanjutkan naik tebing yang sama seperti kemarin dan dilanjutkan ke bagian lainnya, yang satu ini lumayang tinggi, harus bersusah payah untuk menaikinya.

pemandangan di atas tebing, pulau sempu





Perutpun sudah diisi dengan makan
siang, kami bersiap untuk pulang. Kira-kira jam 11 am. Pulangnya, kami akan melalui jalan seperti sebelumnya, akan mengulangi hal yang sama dengan waktu berangkat. Harus merasakan lagi kegetiran akibat kemarin. Tapi sudah dengan persiapan yang dirasa perlu. Sepatu dililit dengan tali raffia, atho’ menggenakan panci di kepalanya(seperti anak kecil di iklan susu “Life is an adventure” kalo boleh jujur. ckakakaka) dan hal yang sangat menentukan hidup matumu, celana jeans telah diganti dengan celana pendek. Kalau boleh memilih, sebenarnya kami sangat ingin dijemput oleh perahu dari situ, tapi disana ga’ ada tempat untuk perahu bertambat, kecuali jika kau ingin perahunya nunggu dibalik tebing dan caranya kau ke perahu adalah dengan melompat dari atas tebing. Tak ada pilihan seperti itu.

Di hutan sama saja seperti sebelumnya, jalan berlumpur, hutan basah. Dan satu lagi yang perlu diwaspadai adalah hewan liarnya. Kami selalu awas melihat ke atas pohon. Tak ada bunyi-bunyi aneh di atas pohon. Semuanya senyap, keheningan hutan yang mengancam. Setengah awal perjalanan semuanya aman terkendali, tapi perjalanan ini memang sungguh luar biasa. Beberapa waktu kemudian dari kejauhan, kami mendengar gonggongan sayu anjing liar. Reflek kami semua menyiapkan sebatang tongkat, kemarin sudah sangat memberi pelajaran pada kami apa yang pertama kali harus dipersiapkan. Kami berjalan mengendap-ngendap seperti sedang gerilya. Suaranya makin mendekat, kami pun semakin gelisah. Ada rasa getir yang merayap ke lidah, membuatnya terasa amat pahit. kemarin kami memang selamat, tapi saat pulang itulah sepertinya penentuannya.

Setelah sekian lama, tetap dengan langkah buru-buru kami, tiba-tiba semuanya kembali hening. Kami buru-buru menambah kecepatan, masih dengan keadaan awas, bisa saja kami diterkam tiba-tiba. Dan jalan berlumpur dan licin seperti itu benar-benar tidak membantu. Seringkali kami harus terjatuh. Itu masih belum lagi kami harus melewati tempat si raja pohon kemarin, tapi disitupun ternyata ga’ ada apa-apa. Zona awas telah di lalui.

Waktu pulang kami beberapa kali berpapasan dengan gerombolan lain yang sedang menuju segara anakan, sudah menjadi tradisi untuk saling menyapa sesama pejalan. Ketika juga ditanya perjalanannya apakah masih jauh, kau cuman harus bilang “udah dekat koq mas, bentar lagi”. itu semacam tata krama sesama pejalan, meskipun yang ditanya maupun yang nanya sebenarnya sudah sangat sadar bahwa perjalanan masih jauh.

sampai di luar hutan, di pantai tempat kami diturunkan dari perahu kemarin, kami membersihkan diri, sekalian istirahat menunggu jemputan datang. di tempat itu sinyal sudah ada.

it's time to go home

Pulangnya, perjalanan dengan motor ditemani hujan itu sudah biasa kan….

Bagiku, petualangan itu adalah ketika kau melakukan perjalanan dan melakukan perencanaan, tapi semuanya berjalan benar-benar di luar prediksimu, membuat jantungmu berdetak lebih cepat dari biasanya. Menakjubkan, itu yang bisa ku katakan. Berharap suatu saat bisa melakukan petualangan yang lebih menakjubkan, tapi dapat kembali dengan keadaan selamat dan utuh.

NB; jadi ku sarankan, kalau mau pergi ke pulau sempu, musim hujan saja.
Dan ada lagi satu rahasia. ada satu paragraph yang bohong, yang ada tanda ini-nya (/*). Mana iya kami mau ngelawan kera. ckakakakakaa......


1 comment:

Anonymous said...

cooolll :p

Dimensi Tak Hingga © 2014