Sunday, January 7, 2018

Mungkin, kita hanya butuh hujan

Sunday, January 7, 2018
Kau tau apa yang membuat kita menghawatirkan banyak hal: karena ketidakmampuan kita atau karena kemampuan kita

29/12/2017. Itu sore yang berawan, langit gelap dipenuhi oleh awan cumulus, angin dingin sesekali menghempas tubuh kami, mungkin sebentar lagi hujan akan jatuh di surabaya, mungkin juga tidak. Kau tau, proses hujan itu adalah proses yang sangat nonlinear, artinya perilaku hujan itu sangat sulit untuk diprediksi, perubahan kecil saja pada satu variabelnya bisa saja berdampak sangat besar pada keseluruhan prosesnya. Kalau tidak jadi hujan, oke, kalau jadi hujan maka aku akan sangat senang berkendara diguyur oleh tetes-tetes dinginnya.

Ya aku akan bepergian, tepatnya kami. Abid, afif, Mahasin, fadil dan aku. dua orang pertama itu baru ku kenal, temannnya mahasin. Kami berencana hiking tipis-tipis ke gunung penanggungan. Disebut tipis-tipis karena beberapa jam nanjak aja sudah sampai puncak, 3-5 jam. Dan kami memang berencana tidak lama di sana, satu hari aja. Berangkat sore ini, besok siangnya balik. Perlengkapan sudah siap; tenda, kompor, nasting dan beberapa logistik. Makanan yang kami bawa tidak banyak, beberapa bungkus mie instan, roti, madu dan chocolatos (bubuk). Yang terakhir ini sangat penting, minuman kemenangan waktu di puncak. Menang bukan menaklukan gunung, tapi menaklukkan diri sendiri.

Hampir jam 05.00 pm kita berangkat dari kostanku. Suasana perjalanan ini sudah lama ku rindukan, apalagi ketika sudah mendekati basecamp penanjakan, suanana dingin dataran tinggi dan gerimis, hampir setiap hiking suasananya seperti ini. Selama perjalanan kami beberapa kali berhenti, untuk sholat, makan dan kehilangan arah. Ah jadi malu. Mahasin dan fadil sebenarnya sudah beberapa kali ke penanggungan, dan mereka boncengan, harusnya tambahan perjalanan ini relatif bisa dihindari. Tapi ya seperti itu mereka, seringkali mendebat hal-hal yang tidak perlu, sering, serius, sudah seperti sejoli. “Belok kiri ini harusnya”, ”udah lurus aja” dan seterusnya, tapi hilang arahnya tidak lama. Jam setengah 9-nan kami sampai di basecamp pendakian. Motor, kami parkir di tempat yang sudah disediakan, 10k/motor. Disitu juga terdapat banyak warung, sebelum memulai penanjakan, kami istirahat sebentar, minum kopi, makan pisang dan membuang air-air yang tidak perlu.

Setelah menyelesaikan registrasi, dan bayar 10k/orang sebagai biaya masuk, jam setengah 11 pm, kami sudah siap untuk memulai pendakian, 5 cowok, 1 sudah berkeluarga dan punya anak, sisanya jones, jadi jangan salahkan jika kami berharap menemukan yang bening-bening selama pendakian, setidaknya sebagai penyadar bahwa masih ada perempuan. Ya, sebatas penyadar, mana berani *kami ngajak kenalan. dikira jones itu hanya title, hah. itu bukti kengenesan, jadi jangan remehkan, plis. maaf ralat, *mereka.


pose dulu sebelum mulai ndaki

Untuk sampai di puncak, ada empat pos yang harus kami lalui, pos 1 adalah tempat registrasi, pos 2-4 berada antara pos 1 dan puncak bayangan. Puncaknya sendiri ada dua, puncak bayangan dan puncak sejati. Meskipun sama-sama dinamai puncak, perbedaannya sangat jauh. Rutenya adalah puncak bayangan lalu puncak sejati. track paling curam adalah track setelah puncak bayangan itu, track untuk menuju puncak sejati. Kalau ada yang bilang kemiringannya sampai 90 derajat, sedikit membesar-besarkan, tapi di beberapa tempat kemiringannya memang parah. Itu cerita untuk nanti. Kita sekarang baru memulai pendakian. Untuk menuju pos 2, tracknya tidak sulit, bisa dibilang landai. Tapi karena sudah lama tidak melakukan olah fisik, track seperti ini saja sudah bikin keringat bercucuran. Kapan terakhir olah fisik, dua bulan lalu? entahlah.  Di pos 2 kita berhenti sebentar, mengatur nafas. Selanjutya, Sisa perjalanannya kita skip aja ya. Singkat aja, oke. Jadi, perjalanan antara pos 2 sampai puncak bayangan dipenuhi oleh pusing, kram dan mual. Pusing dan kram tentu sudah jadi langganannya Mahasin, sudah langganan, tiap hiking dia kram, pernah hampir mau nyemplung di ranu kumbolo, lucu sekaligus menyedihkan. Mual, aku sendiri, kesalahan sebelum berangkat makan sambelnya banyak banget. jadinya hampir seluruh perjalanan pos 2-4, perutku bergejolak ga karuan. Tapi perjalanannya tetap menyenangkan, apalagi dua sejoli tadi sering lempar argumen. Sulit aku gambarkan, kau perlu ikut kami hiking untuk tau kemeriahannya. Karena kadang lelucon itu hanya lucu bagi orang yang sudah dekat. Kau perlu jadi bagian kami untuk menikmati leluconnya.

Di akhir tanjakan yang lumayan curam, kami tiba di puncak bayangan. Tanah lapang dan beberapa tempat sudah ada tenda yang didirikan, tapi bukan itu letak keindahannya. Di balik punggung kami, tepatnya setelah menoleh, kami disuguhi hamparan kerlap-kerlip lampu jauh di bawah kami, sudah beberapa kali menikmati pemandangan ini, tetap saja tidak membuat bosan, dan pemandangan seperti ini selalu membuat teringat masa kecil. Tahun-tahun sebelum listrik masuk ke desa, kami (aku, kakak dan beberapa teman ngaji) seringkali tiduran di emperan sambil berlomba menghitung banyaknya bintang di langit, di angka ke 500  aku sudah kehilangan jejak, bagaimana mungkin aku bisa menghitung bintang sebanyak itu, yang ketika kelas 3 SD, aku baru tahu bahwa jumlah bintang ltu jutaan, bahwa matahari itu juga bintang, bahwa bintang yang satu dengan yang lainnya jaraknya bisa sangat berjauhan, tidak seperti yang ku duga sebelumnya bahwa bintang-bintang itu letaknya berjajaran seperti lampu di langit-langit rumah. Mereka indah dan juga misterius. Tapi langit malam ini gelap, rintik-rintik air sesekali berjatuhan dari langit. Kami sepakat untuk istirahat sebentar, sebelum melakukan penanjakan terakhir menuju puncak sejati. Duduk sambil melihat kerlap kerlip lampu peradaban, jauh dihadapan kami juga terdapat gunung kembar, arjuno dan wlirang. Angin dingin gunung semakin membuat tubuh ini merindukan kasur kost, bantal dan gulingnya.

Setelah beristirahat kira-kira 50 menitan, Jam 2 am kurang 15 menit kami melanjutkan pendakian. Saat mendongak ke atas, puncaknya sudah kelihatan, kelihatan dekat, tapi jangan tertipu. Dari surabaya pun puncaknya sudah kelihatan. Kita masih setengah perjalanan, setengah perjalanan selanjutnya inilah yang paling sulit. Baru di mulaipun kemiringannya sudah curam, semakin jauh bukan semakin mudah, tapi semakin parah. Hampir di seluruh track kami harus merangkak dan mencari tumbuhan yang mampu menjadi pegangan, dengan carrier di punggung membuat pedakian ini semakin membuat gundah. Ini pendakian yang pertama kali membuatku putus asa. Sebelumnya tidak pernah, di semeru sampai puncak aku juga bawa carrier, isinya logistik. arjuna dan wlirang juga sama, yang katanya track bikin ngilu, tapi oke-oke aja, tidak sedikitpun terbesit untuk banting stir, balik. Nah ini yang cuman bukit, beberapa kali memaksaku memikirkan tentang makna kehidupan.

‘’sebenarnya apa yang aku cari dari bersusah payah seperti ini? kalau cuman ingin senang-senang kenapa ga camping di tempat fun aja, pantai misalkan, ga kalah menyenangkan” pada suatu waktu.
“mungkin inti dari hiking ini hanyalah pembuktian diri. Pada siapa sebenarnya aku ingin membuktikan diri” pada waktu yang lain
Dll.

Pikiran-pikiran semacam ini tak bisa lepas, saking putus asanya aku memprtanyakan pola pikir dan kecendrunganku. Ga ada jawabannya. Inti dari refleksi kan memang mencerca dirimu sendiri dengan pertanyaan-pertanyan, ini salah satu contoh yang tidak sehat, sorry about that. Kata-kata “menaklukkan diri sendiri” menjadi semakin berarti pada pendakian ini. bukan gunung, tapi diri kita sendiri. Lagian gunung diam, apa yang coba ditaklukkan.

Selain memang tracknya yang cendrung sangat curam dan bawaan yang berat, mungkin karena fisikku memang sudah ringkih, bawaannya capek terus. Kurang olahraga. Anehnya, meskipun sudah tau sengsara seperti ini, suatu saat akan pengen lagi hiking. Kata fadil, hiking itu indah kalau kita sudah ada di bawah, tinggal bagian ceritanya aja, akhirnya merindukan.

Tapi kita akhirnya sampai juga di puncak, kira-kira jam 4. Aku sedikit medahului karena bawa tenda, ingin cepat didirikan karena sudah ada tanda-tanda mau hujan, disusul oleh afif dan abid. Asin dan fadil? Kantong makanan di perut mereka perlu sedikit dikurangi. Tapi jangan salah, mereka sudah pro naik gunung, kau tau apa yang membedakan seorang pro dan amatir, tekad dan kesabaran. Selama menuju puncak ini, seringkali dari bawah aku mendengar teriakan “woi kram, bantuin”, yups ga ada yang bisa dilakukan selain ketawa dan sedih.

Setelah tenda didirikan kami buru-buru masuk ke dalam, tidur sebentar, sholat subuh lalu menikmati sunrise.


tenda satu-satunya di puncak


Menyenangkan bisa menikmati pemandangan seperti ini

Mahasin kram, kita cuman sibuk ngetawain


Monday, December 18, 2017

I bet it's beautiful

Monday, December 18, 2017
Masih dalam suasana belajar menulis. Katanya, cara paling tepat untuk mengembangkan kosa kata adalah dengan membaca, jadi itu yang aku lakukan seminggu ini, membaca, (selain textbook dan paper tentu saja), apalagi memang banyak list buku yang sudah menanti, termasuk novel-novel yang aku beli di BBW (Big Bad Wolf) dan di bazar buku setahun belakangan ini. yups, novel-novel itu masih belum kesentuh. Mengalami yang disebut turunannya minat, terjadi ketika hati sudah berpaling, tenang, bukan berpaling darimu. Aku malah sempat berpikir bahwa membaca novel menjadi sesuatu yang pointless. Ghirohnya sudah Sangat tipis. Dulu aku juga pernah punya pemikiran seperti ini, tepatnya sebelum aku membaca novel (selain cerita rakyat atau cerita di buku paket sekolah ya). Kita flasback dulu.

Hari itu pagi yang cerah atau hujan, entahlah, ingatanku sudah mengabur, yang jelas pagi itu aku duduk di bangkuku dan sedang menatap keluar jendela, melamun, kebanyakan yang ku lamunkan adalah pulang ke rumah, sekolah di sekitar rumah saja. tahun itu adalah tahun pertamaku nyantri, jadi lumayan berat, rindu rumah tidak bisa dibendung. Penanggalan di dinding kamar pondok tiap hari selalu dilihat, satu hari bisa beberapa kali, jadi seminggu saja kerasanya lama banget (time perception). Balik lagi ke kelas, pagi itu ada teman yang bawa buku, dan itu lumayan tebel, menarik perhatian, judulnya “Ayat-Ayat Cinta”, ah buku tafsir tentang aya-ayat, jadi ada ya ayat-ayat cinta, bathinku waktu itu. Aku lumayan penasaran, masa itu adalah masa pubertas, jadi hal-hal semacam ini secara alami sangat menarik. Setelah aku tanya, ternyata itu adalah novel, wow, gila mau-maunya ya baca novel setebel itu, apa menariknya. Itu pikiran pertama yang telintas, waktu itu tak pernah sedikitpun terlintas untuk baca novel, apalagi setebel itu. Jadi ya, perjumpaanku pertama kali dengan novel adalah acuh-tak acuh. Beberapa hari berselang, masih dalam bulan yang sama. Temenku yang lain bawa novel yang sama, dia temen akrabku, kita mengobrol tentang novel itu dan aku sempat komen, apa menariknya baca novel. Lalu dia meminjamkannya padaku, Ayat-Ayat Cinta, katanya aku pasti bakal suka. lalu tepat malamya, aku sampek gak tidur membacanya, semenarik itu, gak pernah kebayang baca novel bakal semenyenangkan itu.

kita pastinya punya teori/definisi tentang berbagai hal, punya gambaran dan struktur tentang hal-hal itu di dalam otak kita, meskipun kita belum pernah mengalaminya.  Teori/definisi kita mungkin benar, tapi dalam prakteknya seringkali jauh lebih kompleks, sehingga hasilnya bisa sangat berbeda (masalah teknik dan sains sering seperti itu). Itu yang terjadi padaku tentang novel, aku punya definisi sendiri tentang novel, definisi yang aku susun tanpa mempelajarinya lebih jauh, terjebak pada yang disebut premature conclusion. Kita tidak akan pernah benar-benar paham sebelum mengalaminya, salah satu pelajaran hasil perjumpaanku dengan novel. suit suit.

Jadi dengan membaca Ayat-Ayat Cinta itulah dimulainya pengembaraanku membaca novel. Ketika di pesantren, novel apapun, seperti apapun bentuknya pasti aku baca. Satu novel yang sangat berkesan bagiku adalah The Kite Runner. Tentu ada novel-novel lain yang ga kalah bagus, tapi seingatku tidak ada yang lebih menyentuh dari ketika membaca The Kite Runner, kata-kata di endingnya, hmm.

Balik lagi ke masa sekarang. Mungkin itu lagi yang terjadi padaku, aku tidak mau tau, mengambil kesimpulan bahkan sebelum membacanya(novel). Tapi mungkin juga karena minatku sudah mulai condong pada satu titik, sehingga di titik lainnya berkurang. Jika dulu jenis buku apapun aku baca, sekarang ketertarikanku sebagian besar condong pada hal-hal ilmiah. Mungkin ini karena efek terpapar hal-hal semacam itu terlalu lama, mungkin juga karena hal lain dan beberapa hal lain, teori chaos. jadi dengan minat itu, buku yang menjadi prioritas bacaanku adalah memang yang berbau ilmiah, listnya terus bertambah karena tidak mulai aku baca, seperti diantaranya buku-bukunya Michio Kaku “Future of the Mind” “Physic of the Future” “Physic of the Imposible”, ”what if” Randall Munroe, ”Thinking Fast and Slow” Daniel Kahneman, “Everybody lies” Seth Stephens-Davidpwitz, “The Wisdom of Crowds” James Surowiecki, dan “Superforcasting” Philip E. Tetlock dan Dan Gardner. Kedua buku terakhir merupakan rekomendasi dari Prof yang aku kagumi. Buku terakhir ini yang sedang aku baca. Menemukan buku yang pas dengan selera itu adalah sebuah anugrah, tapi karena tulisan ini sudah terlalu panjang aku tak akan menceritakan isinya.

So, What book are you? Apa genremu? What page you want to tore apart? Is it something make you sad? something else? Did you ever feeling so helpless? when future dosent matter, all you want is just to run away? Aku tak tau apa yang bisa ku lakukan, tapi aku berharap bisa berada pada halaman-halaman ceritamu, berada di sampingmu. And, In that story of yours, which page you like the most? what is it about? Is it time you spend with your family? Is it something in your childhood? Is it when you achieve something? Or is it when you with someone? So, had you already fell in love, or have fall? terserahlah. if it’s just about feeling we cant help it, but actually love is beyond feeling, beyond ‘fall’. Love is a matter of act.

Lalu, bolehkah aku membaca buku(mu)?

Sunday, December 10, 2017

Kopi mungkin memang tak semanis dirimu

Sunday, December 10, 2017
Belakangan ini hidupku terasa lebih bermakna, sering begadang untuk mengerjakan tugas, interval tidur jadi lebih berkurang, dan result nya adalah, tugasku menjadi maksimal, maksimal disini bisa memiliki banyak arti (multivariable, bergantung pada variable state yang lebih dari satu), dan pemilihan state-state ini murni individual, misal bekurangnya rasa bersalah karena telah mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, merasa menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi lebih PD untuk bisa menyapamu, lalu main ke rumahmu, okeh kalimat terakhir mungkin memang cuman teori. Semua ini mengantarkanku pada hipotesa bahwa performa index (PI) dari tugas adalah tidur

Tidur:L(x,u)(let’s don’t pry deeper what the function look like, padahal ini penting :/)

dimana L (tidur) ini haruslah diminimalkan (kenapa?), mungkin konsep ini sangat terdengar absurd, tapi untuk orang sepertiku, yang terkena angin sepoi-sepoi sedikit saja langsung tertidur (yups tidur adalah keahlianku), bisa tidak tidur bagiku itu adalah pencapaian yang membanggakan.

Karena L ini adalah PI, semakin  kecil maka itu semakin bagus, dalam kasus ini tentu saja. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana caranya menimalkan L. Karena L adalah fungsi dari x dan u, maka mengubah nilai L bergatung pada nilai yang kita berikan sebagai x dan u,  x adalah state, state ini tidak bisa ‘secara langsung’ kita ubah nilainya, sedangkan u adalah yang disebut sebagai input, input ini merupakan rangsangan dari luar yang bisa kita atur nilainya secara langsung, berakibat pada kita bisa mengatur nilai L. jadi intinya adalah bagaimana kita memilih nilai u yang dapat meminimalkan nilai L. tapi sebelum itu, sekarang yang jadi pertanyaan adalah apa input itu, u, dirimu kah? Sepertinya bukan, kau tau, karena glukosa membuat cepat mengantuk, padahal manismu lebih parah.

Untuk bisa tau inputnya apa, kita perlu tahu lebih dalam tentang sistem yang akan kita berikan input tersebut. karena gak mungkin, mobil kau kau kasih input air, atau cowok jones kau kasih cowok juga, entahlah bisa berlaku mungkin kalau dia lgbt.

Sistemnya adalah tugas. Sedangkan sekarang bisa diasumsikan bahwa aktuatornya (pengerja tugas) adalah diri kita sendiri (bisa juga bayar orang lain), kita yang bergerak mengerjaka tugas, aktuator inilah yang diberikan input. Input yang dapat membuat ‘melek’, dari semua pilihan yang memungkinkan, dan paling setia menemani disaat galau dan gundah gulana, pilihanku jatuh padamu, yups kau kopi (lebih spesifiknya sih caffein, btw pemilihan  nya sembarangan lagi).

Tapi bukan berarti semakin besar  (semakin banyak kopi) maka itu semakin ‘bagus’. Ada beberapa pertimbangan dan kendala yang perlu diperhatikan, seperti isi dompet, kondisi metabolisme dll, yang mana harus memenuhi persamaan kendala berikut

f(x,u)=0

disebut sebagai equally constraint. kendala ini bisa saja lebih dari satu, ambil misal metabolisme manusia, semakin banyak  (kopi) memang akan meminimalkan (tidur) tapi belum tentu bagus untuk metabolisme kita (btw aku pernah baca artikel bahwa minum kopi 3-4 cangkir sehari mampu menurunkan resiko kematian dari pada yang tidak minum, kecuali untuk wanita dan yang sedang hamil, ada di sciencedaily kalau mau baca). Jadi haruslah dipilih  yang tepat sehingga semua itu tercapai: minimal  dan memenuhi . Tidur minimal tapi masih baik untuk metabolisme.

Jadi, berapa cangkir sehari kira-kira? 3-4 cangkir sepertinya masih bisa ditoleransi. Yang penting sebelumnya sudah makan, karena bagi yang punya asam lambung tinggi, maag dll, kopi sebelum makan bisa melukai lambung, ini ditandai dengan feses yang disertai darah. Berarti makannya kurang lebih 3 kali sehari juga. Bisa ga kira-kira? Mungkin kau pernah juga mengalaminya, kalau lagi sedang serius, fokus mengerjakan sesuatu, atau fokus bermalas-malasan, makan menjadi suatu hal yang relatif tidak penting, akhirnya ditunda tunda sampai bikin pusing dan sakit lambung. Apalagi jika kau anak kost + jones, makan mejadi suatu yang sangat mellow.


Friday, December 1, 2017

Let's do this

Friday, December 1, 2017
It’s been a while I stop do writing. Sudah lama sih sebenarnya (atau enggak, kau tau bahwa waktu itu relatif,  ga perlu dibawa ke teorinya bapak Albert Einsten, di psikologi juga ada teori time relativity, dan itu disebut time perception. Intinya bahwa tiap orang punya persepsi waktunya sendiri, dan persepsi ini juga bisa berganti tergantung pada event atau task yang dialami/dikerjakan. pernah dengar “denganmu waktu terasa cepat berlalu, tapi tanpamu sedetik serasa seabad” oh men. Itu memang terjadi, tapi masih tanpa bukti, oke ga fokusnya memang seperti ini), mungkin sudah sekitar satu tahun (tugas, proposal, ujian dll lewat hitungan ya), dan sekarang aku ingin lagi melakukannya, tapi karena aku termasuk yang jadwalnya padat, untuk menulis lagi aku perlu mencoret salah satu kegiatanku. it’s kinda hard, tapi aku harus mencoret kegiatan scrolling-scrollingku di media sosial. I know, It
“… have(has) way too much emotional value” ~mike wheeler, stranger things.

Medsos memang menyenangkan tapi terlalu banyak menghabiskan ram dan cachenya, wow, otakku sudah terlalu berat ditambah ads semacam itu. So mari kita lakukan. Coret scrolling-scrolling, *pray*. Akan terjatuh pada endless loop mungkin, install->uninstall->install->..., apalagi jika ada seseorang yang ingin kau tau kabarnya (stalker? :/), but let’s just observe it for while, then evaluate.

Kenapa aku ingin menulis lagi, mungkin itu pertanyaannya? karena mengobrol denganmu sangat menyenangkan. Itu salah satunya.

“but you’re just my imaginary friend, we have to remember that” Elliot Alderson – Mr. Robot.

juga, karena aku sekarang akademisi (setidakya aku menggapnya begitu), aku butuh menulis dan tentu saja dengan cara yang baik. Beberapa kali dapat teguran karena tulisanku pada beberapa kesempatan ada beberapa kata, yang disebut ‘sembarangan’, dan beberapa halaman isinya hanya formula dan grafik. Sometimes we just don’t want to talk, right? either textly or vocally. just too tired to exlplain. Kidding, I’m just too lazy :v.
untuk alasan yang kedua, sebenarnya kurang tepat jika dilatihnya hanya dengan random talk seperti ini. academic writing sedikit berbeda. Strict. Ada aturan-aturan baku yang perlu diikuti, dan cara bagaimana menyampaikan ide kita yang kompleks, menjadi suatu yang mudah dipahami. Ini butuh latihan, komitmen, dedikasi (apalagi?). tapi untuk permulaan, mari lakukan sembarangan, tulis apa yang ingin ditulis, belajar menuangkan yang ada di kepala kita menjadi kalimat utuh, mempunyai arti secara lafad, bukan seperti “aku padamu” (apa? Jujur aku suka bingung dengan kalimat-kalimat belakangan ini). tapi selanjutnya, aku harus mulai menyusun sistemnya supaya maksimal. Asumsikan tulisan random-talk ini berjalan selama sebulan, dengan minimal 4 tulisan, dan mungkin ini akan diadopsi untuk digunakan pada sistem ‘penulisan serius, dalam satu bulan aku harus mulai membayangkan apa yang harus aku hasilkan pada hari pertama, kedua sampai hari ketujuh dan membiasakannya, padahal, pernah baca di artikel bahwa untuk membentuk  kebiasaan baru rata-rata dibutuhkan 2 bulan (tepatnya 66 hari, kau bisa mencarinya), karena waktunya udah mepet, satu bulan semoga bisa terbentuk. Jadi kira-kira seperti apa sistemnya, untuk pemanasan:
  • Objektif/reference: mampu melelehkan pembaca dengan tulisan (too abstract ya :/)
  • Parameter/state : kuantitas tulisan? Kualitas tulisan? Dua-duanya? Ini aja sebenarnya masih terlalu umum. Kalau kuantitas ngukurnya gampang, kalau kualitas ini yang susah, siapa yang mau nilai? Aku kan juga belajar, kalau yang nilai aku sendiri kan meragukan. Mungkin penilaiannya kita susun dulu (nyari-nyari lewat internet, setidaknya basik-basik dulu, paragraf pertama isinya apa, subbab kedua isinya apa dsb).
  • Running time : 3-4 bulan
  • Aktuator : aku sendiri
  • Sensor : hati dan pikiran
  • Kontroler : unknown/na

Sistem ini aku sesuaikan dengan sistem kontrol, menyenyuaikan dengan keilmuanku sekarang. Teknisnya ga perlu dijelaskan ya.

Selamat malam~





Thursday, November 9, 2017

Thursday, November 9, 2017
Malam itu hujan
dan akan selalu ada cahaya berlebih ketika malam hari hujan dan paginya cerah
Genangan air yang berkilau
Daun-daun pohon yang berpendar
Dan senyummu di balik jendela waktu itu.

aku tak tau, tapi aku hanya cukup membayangkannya, kan?


Saturday, December 24, 2016

Saturday, December 24, 2016
Kita yang jelas akan bersimpangan
Pada waktu yang akan datang
Atau mungkin telah jadi lalu
Hah, terus saja berulang-ulang
Semua teori tentang schrodinger’s cat ini
Ingin cepat ku hentikan

Hujan malam ini mengaburkan waktuku
Kau tergambar oleh bias cahaya bulan pada awan pekat di langit
Lupakan tentang bunyi tetes hujan
Yang ku dengar adalah suaramu yang samar-samar

Kau tau
Aku sangat ingin menyapamu
Lalu jarak ini menjadi hanya sejengkal
Hmm, mungkinkah?

Hatiku terus saja terpental antara dinding-dinding kotak ini
Dan aku, hanya bisa mematung memandangimu

Monday, July 20, 2015

Track Madura-Situbondo, Perjalanan Kenangan

Monday, July 20, 2015
“Kita telah banyak sekali melakukan perjalanan, yang dipilih sendiri atapun yang dipilihkan. Tak ada cara untuk bisa mengulanginya, kecuali hanyalah perjalanan kenangan”

Sebentar lagi liburan panjang selesai, liburan ramadhan di pesantrenku hampir dua bulan, jadi kira-kira memang sudah dua bulanan aku kerjaannya cuman duduk dan melamun. Nah bercanda, orang serius sepertiku ini tak ada waktu sedetikpun untuk hal-hal percuma. :v

Jika memikirkannya sekarang, hal-hal yang terjadi kemarin, sebelum-sebelumnya seolah tak nyata, secara umum maksudku, tidak hanya liburan kali ini saja, tapi kehidupanku sampai sekarang. Apakah yang telah lalu itu memang tidak pernah terjadi? adakah yang bisa membuktikan adanya hari kemarin? Kenangan?! ‘Cogito ergo sum’ hanyalah pembuktian adanya diri kita(aku), bukan orang lain, jadi kenangan itu bisa saja hanya akibat dari pemikiran kita, imajinasi, bukan karena memang ada, ~pemilihan kata ‘kita’ dan ‘aku’ menjadi sesuatu yang membingungkan disini. Dalam film matrix, kehidupan ini hanyalah data yang terus menerus di up-date ke dalam pikiran seseorang yang sedang tertidur. Jadi kenyataan yang kita pahami ini hanyalah kumpulan data-data pada mimpi seseorang, dan yang sedang tertidur itu adalah aku, jadi kalian semua cuma data yang ada dalam mimpiku. Apalagi dirimu, mungkin memang sangat tepat jika kau hanya disebut sebagai bunga mimpi.

Sebenarnya bukan maksudku membahas film matrix, OOT. yang ingin diceritakan adalah bahwa sebentar lagi aku akan balik ke pesantren, bukan hal yang menakjubkan, tapi memikirkan para fans yang harap-harap cemas mengetahui perjalanan yang ku lakukan sedikit berbahaya, sepertinya sedikit banyak aku perlu menceritakannya.

Aku balik ke pesantren menggunakan motor, ya sendirian, jarak dari rumah-pesantren  +- 283 km, kira-kira 6 setengah jam-an perjalanan, biasanya bisa ku tempuh di bawah 6 jam-an, tanpa berhenti sebentarpun, kecuali untuk lampu merah. Karena kekuatan sihirku ‘dragon slayer’, ketika naik kendaran umum sering mual-mual ga jelas, jadi setiap pulang ke rumah, atau ada perlu di surabaya, aku lebih memilih menggunakan motor. sudah belasan kali, dan sekarang sudah pada tahap ‘insensitif’, perjalanannya terasa hampa, ya tampa kamu yang menemani memang terasa hampa. #mungkin mulai sekarang aku harus mencoba memikirkan solusi alternatif, minum obat anti mabuk misalkan.

Dengan perjalanan selama itu di atas motor sendirian, secara teknis yang bisa dilakukan hanyalah bengong, meskipun memang kadang ada hiburan seperti aliran kendaran yang banyak di depan, menyalipnya di sela-sela sempit atau dengan fokus menunggu timing yang tepat cukup bisa memberikan kesenangan, tapi pacuan adrenalinnya hanya bertahan sebentar. meskipun keadaan seperti itu terjadi banyak kali, karena ini jalur pantura, tapi itu tidak terjadi begitu sering. Padahal dibutuhkan hiburan yang konstan, terus-menerus untuk menjaga pikiran tidak kesurupan di tengah jalan. Kau tau, Aku juga tidak ingin tiba-tiba berada ditengah hutan! ban bocor malam-malam dan mendengar bunyi cekikikan dibelakang motor sudah sangat cukup bagiku.

Karena mengobrol denganmu tidak memungkinkan, pilihan terakhir adalah mengobrol dengan otakku sendiri, terlepas dari argumen logisnya yang kadang kali menghancurkan kesenangan berfantasiku, otak adalah partner yang takkan bisa tergantikan, 24/7. Ya, kau bisa menyebutnya berpikir. Dialog kami kebanyakan topik-topik para jones, artis siapa yang disukai, karena kejadian tidak diduaga akhirnya saling jatuh cinta, lalu bahagia sepanjang masa. Keinginan kami memang tidak muluk-muluk. Ketika saking asiknya, kadang bahkan sampai lupa bagaimana tepat sebelumnya bisa menyalip beberapa kendaraan sekaligus. tidak mengherankan, itu terjadi karena aktivitas di hippocampusku tidak menkonversinya ke memori jangka panjang. Jadi ingatan/memori tentang bagaimana aku menyalip kendaraan-kendaraan itu langsung ‘dibuang’ tepat ketika selesai. Artinya juga, bahwa fantasiku lebih penting daripada caraku menghindari bahaya. #men, sepertinya aku harus berhenti menonton jkt4*.

Tapi bohong jika ku katakan bahwa semua waktu perjalanan dihabiskan berfantasi seperti itu, dengan durasi 6 setengah jam-an, pastinya dibutuhkan beberapa ratus scene/adegan mendetail untuk tetap mempertahankan alur ceritanya, dan aku masih belum sampai ke tahap itu. So, memang tidak jarang aku memikirkan hal-hal serius juga, seperti skema alur cerita naruto yang jenius, imajiansi one piece yang ga ada mati-matinya, karakter houtarou oreki cool abis, pemikiran hikigaya hachiman yang unik, dan sederet list anime/manga lainnya yang sudah dan yang ku persiapkan untuk ditonton/dibaca. Hal-hal semacam itu memang butuh pemikiran serius.

Sebenarnya perjalanan pesantren-rumah(ataupun sebaliknya) tidaklah begitu buruk, jika aku berusaha keras untuk mengehentikan kegiatan fantasiku, akan ada beberapa pemandangan dan track yang lumayan menenangkan untuk dilihat, seperti ribuan kilauan pantulan cahaya matahari pada air laut pada waktu sore hari di sepanjang jalur pasir putih, juga pendaran mega merah waktu matahari terbenam di track perbukitan tepat ketika akan memasuki perbatasan situbondo-probolinggo. Kerlap-kerlip jembatan Suramadu pada malam hari, dan sepenjang jalur di pulau madura menuju kerumahku, tidak ada yang bisa mengalahkan senangnya perjalanan yang sebentar lagi sampai ke kampung halaman.  tapi tidak ada yang ku potret. Kadang ada beberapa hal yang lebih baik dinikmati begitu saja.

Sesuatu yang sangat jauh adalah masa lalu: Imam ghozali. Ia(waktu) tidak akan pernah kembali.
Dimensi Tak Hingga © 2014