Air berjatuhan
dari langit. pelan-pelan kemudian semakin cepat. Ntah sudah berapa kali aku
melihat hujan. Ntah sudah berapa kali dinginnya mampu membuat tenang. Suara berjatuhannya di atap rumah, aliran airnya di halaman,
titik-titik airnya pada daun.
Aku tak ingat
kapan tepatnya pertama kali melihat hujan (>,<), kapan pertama kali tetes
airnya yang dingin menyentuh kulitku. tapi jika itu berbicara tentang hujan,
maka ceritaku bersamanya kebanyakan adalah beberapa tahun yang lalu. Bukan cerita
yang menarik sebenarnya, bukan. Ini hanyalah cerita anak kecil seperti umumnya
dan jika berbicara tentang orang dewasa, ini hanyalah masalah kenangan yang
sudah agak sedikit usang di rak memori bagian belakang yang kadang-kadang
meminta untuk diceritakan, jadi ya, ini bukanlah cerita fairy tale, bukan
cerita tentang pahlawan, bukan cerita tentang petualangan di liburan lebaran
dan tentu bukan cerita percintaan. Hanya cerita anak kecil pada umumnya.
Pelan-pelan
aliran udara membawa semuanya kembali, Tubuhku mengecil, halaman rumahkupun
juga ikut berubah, tanaman-tanaman mengecil kemudian mencuat tanaman yang lebih
besar, pecahan genteng merah berserakan di bawahnya pancuran saluran air atap
rumah. semuanya kembali ke 17 thn yang lalu. Mungkin lebih ke belakang atau
mungkin ke depan, ntahlah. Tanpa buang waktu Ku susuri jalan setapak yang
biasanya waktu kecil ku lalui saat hujan, ku ambil tongkat yang tergeletak di
jalan atau kalau di jalan tak ada, pohon yang masih hidup akan ku ambil rantingnya-yang
lumayan lurus tentunya- dan ini alternative terahir, alternative yang biasanya
sering ku hindari, mematahkan tanaman singkong di ladang orang. Kau pasti
membayangkan aku mengambilnya sambil mengendap-ngendap, tapi tak seperti itu. Patahkan,
bersihkan daun-daunnya, selesai. Sesimple itu. Ukuran tongkatnya tak boleh
terlalu besar dan juga tak boleh terlalu kecil, ukuran sedang, ukuran yang
mudah untuk ku ayunkan tapi membuatku puas saat ku hantamkan dan juga tidak
membebani ketika ku bawa lari.
Hmm, Jangan tarik
nafas dulu. Aku tak pergi untuk berkelahi. Tenanglah cinta(>,<). Dari segian
banyak kegiatanku di waktu kecil saat hujan mengguyur, salah satunya adalah berkelahi
dengan anak-anak kampung sebelah. Tak ada alasan khusus, Senang aja melihat
darah mengalir di tengah-tengah hujan, bunyi langkah kaki kami yang menghempas
genangan air di dijalan ketika berlari menyongsong lawan, teriakan lantang yang
bersautan dengan Guntur atau kibasan rambut basahku yang panjangya tak seberapa
waktu itu.
Ya, ya, area sudah
di depan.bukan waktunya lagi untuk meragu. Aku bersama yang lain, kakak,
sepupu-sepupuku dan teman ngajiku harus sudah siap. Masalah sebenarnya simple
aja. Ayolah, tentu saja, anak kecil mana tau masalah rumit, seperti cinta
segitiga misalnya(?). Jadi mari kita luruskan duduk permasalahannya dulu. Pertama
yang perlu diketahui adalah hujan, HUJAN bagi kami anak kampong adalah sesuatu
yang WOW. Seperti dapat uang pecahan ribuan waktu maulidan, ah bukan. Seperti melihat
poop yang mengapung di sungai waktu kami berenang, tentu saja bukan. Atau mungkin
seperti saat berhasil mencuri pandang pada mba’ cantik waktu kami ngaji, bukan
juga. Pokoknya WOW, hujan itu adalah waktu yang sacral bagi kami, selain juga bahwa
jika kau diperbolehkan hujan-hujanan oleh orang tuamu, itu adalah torehan
prestasi yang gemilang, sangat membanggakan. Jadi keesokan harinya waktu di
sekolah, kau bisa berceloteh apa saja yang kau lakukan waktu hujan, tanpa lupa
dengan dada terangkat tentunya. Seperti itulah hujan bagi kami. Maka jika hujan
turun, kami tak akan buang-buang waktu lagi, mengumpulkan teman-teman dan
melakukan apa saja, apa saja. Main bola di ladang orang(yang masih belum di
bajak) yang jika tiba-tiba ada kilat, kami akan sepakat langsung tengkurap, main
glusutan(luncuran/licin-licinan(?)) di emperan rumah. Mencari burung-burung
malang yang kedinginan, atau sekedar lari-larian ga’ jelas di jalan karena
merasa sayang membuang dengan percuma torehan prestasi yang didapat. Dan yang
terahir, kegiatan favorit selain main bola saat hujan adalah mengejar puyuh(*puyuh
runner), bingung apa itu?! Ga’ heran, karena hanya suku terkerenlah yang melakukannya. Jadi
gini, eh yang disitu, tolong frekuensi IQ nya dinaikkan dulu, agar kalian bisa menangkapnya.
Karena kegiatan ini butuh penjelasan formula matematis yang rumit, butuh
kedisiplinan tinggi dam jiwa seoarang kesatria. >,<.
Ini sebenarnya
adalah taktik hidup mati(ngaco lagi). Simple saja. Didasarkan dari pengetahuan
bahwa hewan-hewan pasti kedinginan waktu hujan, jadi mereka akan mencari tempat
berteduh. Kalo hewan rumahan biasanya berteduhnya di emperan rumah, seperti
ayam misal kalau ga segera di usir akan meninggalkan sisa makan paginya. Kalau hewan
liar, biasanya akan mencari tempat yang benar-benar rimbun. Burung kalau
hujannya benar-benar lebat akan mencari pohon yang pendek, karena mereka tidak
kuat lagi terbang. Kalau puyuh akan mencari semak-semak. Disitulah kami para
puyuh runner mengadukan nasib(>,<). Tongkat itu sebenarnya buat cari
puyuh. kami hantamkan tongkat pada tiap rimbunan semak, atau kalau kurang
meyakinkan, dilanjutkan dengan menyodok-nyodoknya, kalau kurang buruntung,
mencari semak-semak yang lain dan melakukan hal yang sama, hantam-sodok-cari-hantam-sodok.
Seperti itulah seterusnya.
Dan hari ini
seperti biasa, hujan yang sacral seperti biasa. Pukulan kami mulai melemah pada
semak-semak di ujung ladang, tapi tiba-tiba ada sekelabatan terbang melarikan
diri
“PORO(puyuh)!!!”
serentak kami semua berlari mengejar. Aneh sebenarnya, dengan kecepatan lari
kami yang terkatung-katung-kadang masih harus terpleset oleh petakan ladang-
mencoba mengejar tebangnya puyuh. Tapi ya lagi-lagi, anak kecil tidak butuh
penjelasan rumit untuk melakukan sesuatu. Tidak butuh penjelasan tentang
fisika-gerak bahwa ini presentase keberhasilannya sangat kecil. Tak butuh itu,
untuk senang-senang itu saja, karena senang melakukannya, itu saja. Toh meskipun
nanti tak ada puyuh yang kami dapatkan kami tak kecewa, karena kami sudah sangat
bahagia. Atau misalkan nanti dapat puyuh, berarti ada dada yang lebih terangkat
dari biasanya dan mulut yang sedikit berbusa ketika bercerita di sekolah esok harinya.
Kami masih
terkatung-katung mengikuti, puyuh itu ga selalu terbang, jadi kurang lebih
berjarak satu lading mereka akan mendarat, menysusup di antara tanaman dan
mencoba bersembunyi, jika mereka merasa bahaya, akan terbang lagi mencari
tempat baru, begitulah seterusnya, terbang mereka juga ga’ tinggi. Nafas kami
mulai habis, sepertinya begitu juga yang di alami si puyuh, sepertinya ini
presentase yang kecil itu. Aku yang oaling kecil, jadi aku sedikit tertinggal
dibelakang, mata sudah berkunang-kunang.
“olle(dapat)!!!!”
mendengarnya aku sangat senang, membayangkan bahwa teman-temanku besok
disekolah akan menganga mendengar ceritaku ini. Tapi yang dapat ternyata bukan
dari kelompokku, kelompok dari kampong sebelah ternyata. Salah satu teman kami
sudah beradu mulut. Genggaman pada tongkat semakin ku eratkan….
http://www.topdesignmag.com/wp-content/uploads/2011/08/727.jpg |
Bersambung dulu-lah…..
No comments:
Post a Comment