Masih dalam suasana belajar menulis. Katanya, cara paling tepat untuk
mengembangkan kosa kata adalah dengan membaca, jadi itu yang aku lakukan seminggu
ini, membaca, (selain textbook dan paper tentu saja), apalagi memang banyak
list buku yang sudah menanti, termasuk novel-novel yang aku beli di BBW (Big Bad
Wolf) dan di bazar buku setahun belakangan ini. yups, novel-novel itu masih
belum kesentuh. Mengalami yang disebut turunannya minat, terjadi ketika hati
sudah berpaling, tenang, bukan berpaling darimu. Aku malah sempat berpikir bahwa
membaca novel menjadi sesuatu yang pointless. Ghirohnya sudah Sangat tipis. Dulu
aku juga pernah punya pemikiran seperti ini, tepatnya sebelum aku membaca novel
(selain cerita rakyat atau cerita di buku paket sekolah ya). Kita flasback dulu.
Hari itu pagi yang cerah atau hujan, entahlah, ingatanku sudah mengabur,
yang jelas pagi itu aku duduk di bangkuku dan sedang menatap keluar jendela, melamun,
kebanyakan yang ku lamunkan adalah pulang ke rumah, sekolah di sekitar rumah
saja. tahun itu adalah tahun pertamaku nyantri, jadi lumayan berat, rindu rumah
tidak bisa dibendung. Penanggalan di dinding kamar pondok tiap hari selalu dilihat, satu hari bisa beberapa kali, jadi seminggu saja kerasanya lama banget (time
perception). Balik lagi ke kelas, pagi itu ada teman yang bawa buku, dan itu lumayan
tebel, menarik perhatian, judulnya “Ayat-Ayat Cinta”, ah buku tafsir tentang
aya-ayat, jadi ada ya ayat-ayat cinta, bathinku waktu itu. Aku lumayan
penasaran, masa itu adalah masa pubertas, jadi hal-hal semacam ini secara alami
sangat menarik. Setelah aku tanya, ternyata itu adalah novel, wow, gila
mau-maunya ya baca novel setebel itu, apa menariknya. Itu pikiran pertama yang
telintas, waktu itu tak pernah sedikitpun terlintas untuk baca novel, apalagi
setebel itu. Jadi ya, perjumpaanku pertama kali dengan novel adalah acuh-tak
acuh. Beberapa hari berselang, masih dalam bulan yang sama. Temenku yang lain
bawa novel yang sama, dia temen akrabku, kita mengobrol tentang novel itu dan
aku sempat komen, apa menariknya baca novel. Lalu dia meminjamkannya padaku,
Ayat-Ayat Cinta, katanya aku pasti bakal suka. lalu tepat malamya, aku sampek gak
tidur membacanya, semenarik itu, gak pernah kebayang baca novel bakal
semenyenangkan itu.
kita pastinya punya teori/definisi tentang berbagai hal, punya
gambaran dan struktur tentang hal-hal itu di dalam otak kita, meskipun kita
belum pernah mengalaminya. Teori/definisi
kita mungkin benar, tapi dalam prakteknya seringkali jauh lebih kompleks, sehingga
hasilnya bisa sangat berbeda (masalah teknik dan sains sering seperti itu). Itu
yang terjadi padaku tentang novel, aku punya definisi sendiri tentang novel, definisi
yang aku susun tanpa mempelajarinya lebih jauh, terjebak pada yang disebut premature conclusion. Kita tidak akan
pernah benar-benar paham sebelum mengalaminya, salah satu pelajaran hasil perjumpaanku dengan novel. suit suit.
Jadi dengan membaca Ayat-Ayat Cinta itulah dimulainya pengembaraanku
membaca novel. Ketika di pesantren, novel apapun, seperti apapun bentuknya
pasti aku baca. Satu novel yang sangat berkesan bagiku adalah The Kite Runner. Tentu
ada novel-novel lain yang ga kalah bagus, tapi seingatku tidak ada yang lebih
menyentuh dari ketika membaca The Kite Runner, kata-kata di endingnya, hmm.
Balik lagi ke masa sekarang. Mungkin itu lagi yang terjadi padaku,
aku tidak mau tau, mengambil kesimpulan bahkan sebelum membacanya(novel). Tapi mungkin
juga karena minatku sudah mulai condong pada satu titik, sehingga di titik lainnya
berkurang. Jika dulu jenis buku apapun aku baca, sekarang ketertarikanku sebagian
besar condong pada hal-hal ilmiah. Mungkin ini karena efek terpapar hal-hal
semacam itu terlalu lama, mungkin juga karena hal lain dan beberapa hal lain, teori
chaos. jadi dengan minat itu, buku yang menjadi prioritas bacaanku
adalah memang yang berbau ilmiah, listnya terus bertambah karena tidak mulai
aku baca, seperti diantaranya buku-bukunya Michio Kaku “Future of the Mind” “Physic of the
Future” “Physic of the Imposible”, ”what if” Randall Munroe, ”Thinking Fast and
Slow” Daniel Kahneman, “Everybody lies” Seth Stephens-Davidpwitz, “The Wisdom
of Crowds” James Surowiecki, dan “Superforcasting” Philip E. Tetlock dan Dan Gardner. Kedua buku terakhir merupakan rekomendasi dari Prof yang aku
kagumi. Buku terakhir ini yang sedang aku baca. Menemukan buku yang pas dengan selera
itu adalah sebuah anugrah, tapi karena
tulisan ini sudah terlalu panjang aku tak akan menceritakan isinya.
So, What book are you? Apa genremu? What page you want to tore
apart? Is it something make you sad? something else? Did you ever feeling so
helpless? when future dosent matter, all you want is just to run away? Aku tak
tau apa yang bisa ku lakukan, tapi aku berharap bisa berada pada halaman-halaman ceritamu, berada di sampingmu. And, In that story of yours, which page you like
the most? what is it about? Is it time you spend with your family? Is it
something in your childhood? Is it when you achieve something? Or is it when
you with someone? So, had you already fell in love, or have fall? terserahlah.
if it’s just about feeling we cant help it, but actually love is beyond
feeling, beyond ‘fall’. Love is a matter of act.
Lalu,
bolehkah aku membaca buku(mu)?