Malam itu bulan Romadhon, tepatnya tanggal 21 juli pukul 20.—WIB *tak
tau tepatnya. Aku berada di kamar sehabis sholat tarawih-ada pekerjaan yang
masih harus ku selesaikan. Tapi listrik tiba-tiba mati. Pupil mataku butuh
beberapa detik untuk menyesuaikan, tapi tengkuk dan bagian belakang kepalaku
sudah sakit duluan, lalu mataku bekunang-kunang. Prolog. Haha.
Mati listrik, sebenarnya sudah jarang terjadi di kampungku tahun-tahun
belakangan ini, apalagi sekarang bukan musim hujan. Dulu waktu aku kecil,
pernah mati listrik hampir satu bulan, hampir di satu kabupaten malah. kebayang
ga’ itu*aku sampai ga’ nonton serial kera sakti. Hiburan yang benar-benar
ku tunggu waktu itu*. tapi karena memang disini kabupaten yang belum begitu
maju seperti di kota-kota besar-apalagi kota industri-, listrik di
kabupaten, terlebih di kampungku tak begitu dibutuhkan. Mungkin itu juga alasan
kenapa perbaikan untuk listriknya sampai memakan waktu hampir sebulan. Tapi kalau mau di korek lebih jauh lagi...
Ga’ tau juga. Hmm.
Di kamar sangat gelap. Hayalanku sudah berkeliar bebas. Menghayal
kuntilanak jatuh bebas atau keluar dari
bawah ranjangku, pocong masuk dari pintu kamar sambil melompat-lompat, tuyul
berlarian liar. Jadi, dengan semua analisa dan pilihan yang memungkinkan *haha,
ku putuskan untuk di luar kamar saja, yang sedikit lebih terang. Kamarku
langsung menghadap halaman. halaman yang lumayan luas, seperti halaman
perumahan di perkampungan pelosok umumnya. *pelosok, panggilan
teman-teman yang pernah bermain ke rumahku, tapi aku lebih suka menyebutnya Alami.
haha*.
Aku duduk di teras depan kamar. Merasakan udara malam yang benar-benar
segar. Lembut, bersih dan sejuk. Halus, benar-benar berbeda dengan udara di
surabaya. Dan Keadaan begitu gelap. meskipun saat listrik hidup, bisa dikatakan
gelap juga bila dibandingkan dengan perkotaan. kalau disini Jam tujuh ke atas
seperti sudah tak ada kehidupan. Tapi sekarang lebih gelap lagi *jelaslah, mati
lampu soalnya. Seperti benar-benar tak ada kehidupan, kecuali yang ada hanya
alam *assek. Dan tak seperti di surabaya
juga, disini tak ada kebisingan yang mengganggu, kecuali kalau misalkan ga’
mati lampu, dari speaker masjid dan musolla-musolla akan terdengar
sahut-sahutan orang tadarrusan-biasanya kami para pemuda desa juga ikut meraikan,
meskipun ntar cuman ngobrol ngalar ngidul atau malah main kartu-.
tapi sekarang semua aktivitas suara manusia seakan tertelan, tergantikan oleh
bunyi layang-layang ke’-lake’an* di atas langit, deru angin saat
bergesekan dengan dedaunan, jangkrik dan kawan-kawannya yang tambah keras
berdendang setelah mati lampu-benarbenar berisik, tapi menenangkan.
Hmm. Dan langit waktu itu sunggguh elegan. Perpaduan antara hitam
sebagai warna layar, sabuk asteroid dan taburan bintang yang berpijar sebagai
latar. Semuanya beku membisu, terpaku dalam diam, diam yang memukau. Anggun.
Paradoks alam terhadap kehidupan yang selalu bergerak. Di iringi orkestra hewan
malam, sambil rebahan-kepalaku tambah sakit kalau harus mendongak terus-,
semakin kunikmati kanvas malam waktu itu. eh, sedikit tak percaya dan
kaget juga-Seperti anak kecil yang pertama kali melihat sesuatu-, ada
bintang jatuh melintas tepat di depan arah pandangku, dengan bodoh, buru-buru
aku berdoa*keyakinan yang dipaksakan dan keputusasaan yang halus. Tak lama
kemudian, dia pun ikut tesenyum bersama bintang-bintang.
Karena semua keadaannya mendukung dan dengan sedikit bingung, ahirnya
aku melamun. aku sepertinya lebih suka gelap-malam- ketimbang hingar bingar
cahaya lampu-perkotaan-. Ada ketenangan,
kesunyian, kebebasan dan penyatuan yang dihadirkan gelap. memang dengan sedikit
takut, karena jarak jangkau penglihatan sangat terbatas saat gelap, ini jugalah
keuntungan ada cahaya, ada rasa aman yang ditimbulkan karena kita bisa dengan
sangat jelas melihat sekitar. Memang, cahaya lampu punya pesonanya sendiri.
Refleksi dari emosi yang bersinar, seolah-olah menghentak dan terikat, menyedot
ke arahnya. spektrum warna itu memang selalu mampu memukau otak primitif kita.
Tapi tetap aku lebih suka gelap yang dihadirkan malam. Lengkap dengan deru
angin, kanvas dan orkestranya.
Untuk orkestra yang satu itu, ada kelucuan, kegelian yang tak
terkatakan saat aku mendengar jangkrik dan kawan-kawannya berdendang, sudah
kubilangkan waktu mati lampu mereka malah tambah nyaring. Seperti ada kerinduan
dan penantian dalam nyanyiannya, dan semuanya terbayar ketika mati lampu. Aku
mengartikan prolog dalam bhs. indonesianya begini;
Jangkrik :
“sialan, sialan, sialan! Ahirnya, lampu bang*at mati juga. ayo kawan-kawan!
kita menghentak sampai mati malam ini. Sudah lama aku tak sebergairah ini.
SIALAAAAAN! KRIIK!! KRIIIK!KRIIIIIIIK!”
Kemudian
diikuti oleh hewan*serangga yang lain. Semakin lama ritmenya makin cepat, makin
nyaring dan makin menggelikan. Setelah sekian lama, tiba-tiba semuanya
berhenti. Listrik kembali mengalir, Lampu telah menyala, aku pun beranjak
memasuki kamar.
No comments:
Post a Comment