Thursday, July 26, 2012

Kerinduan di Kanvas Malam

Thursday, July 26, 2012

Malam itu bulan Romadhon, tepatnya tanggal 21 juli pukul 20.—WIB *tak tau tepatnya. Aku berada di kamar sehabis sholat tarawih-ada pekerjaan yang masih harus ku selesaikan. Tapi listrik tiba-tiba mati. Pupil mataku butuh beberapa detik untuk menyesuaikan, tapi tengkuk dan bagian belakang kepalaku sudah sakit duluan, lalu mataku bekunang-kunang. Prolog. Haha.

Mati listrik, sebenarnya sudah jarang terjadi di kampungku tahun-tahun belakangan ini, apalagi sekarang bukan musim hujan. Dulu waktu aku kecil, pernah mati listrik hampir satu bulan, hampir di satu kabupaten malah. kebayang ga’ itu*aku sampai ga’ nonton serial kera sakti. Hiburan yang benar-benar ku tunggu waktu itu*. tapi karena memang disini kabupaten yang belum begitu maju seperti di kota-kota besar-apalagi kota industri-, listrik di kabupaten, terlebih di kampungku tak begitu dibutuhkan. Mungkin itu juga alasan kenapa perbaikan untuk listriknya sampai memakan waktu hampir sebulan.  Tapi kalau mau di korek lebih jauh lagi... Ga’ tau juga. Hmm.

Di kamar sangat gelap. Hayalanku sudah berkeliar bebas. Menghayal kuntilanak  jatuh bebas atau keluar dari bawah ranjangku, pocong masuk dari pintu kamar sambil melompat-lompat, tuyul berlarian liar. Jadi, dengan semua analisa dan pilihan yang memungkinkan *haha, ku putuskan untuk di luar kamar saja, yang sedikit lebih terang. Kamarku langsung menghadap halaman. halaman yang lumayan luas, seperti halaman perumahan di perkampungan pelosok umumnya. *pelosok, panggilan teman-teman yang pernah bermain ke rumahku, tapi aku lebih suka menyebutnya Alami. haha*.

Aku duduk di teras depan kamar. Merasakan udara malam yang benar-benar segar. Lembut, bersih dan sejuk. Halus, benar-benar berbeda dengan udara di surabaya. Dan Keadaan begitu gelap. meskipun saat listrik hidup, bisa dikatakan gelap juga bila dibandingkan dengan perkotaan. kalau disini Jam tujuh ke atas seperti sudah tak ada kehidupan. Tapi sekarang lebih gelap lagi *jelaslah, mati lampu soalnya. Seperti benar-benar tak ada kehidupan, kecuali yang ada hanya alam *assek. Dan tak seperti  di surabaya juga, disini tak ada kebisingan yang mengganggu, kecuali kalau misalkan ga’ mati lampu, dari speaker masjid dan musolla-musolla akan terdengar sahut-sahutan orang tadarrusan-biasanya kami para pemuda desa juga ikut meraikan, meskipun ntar cuman ngobrol ngalar ngidul atau malah main kartu-. tapi sekarang semua aktivitas suara manusia seakan tertelan, tergantikan oleh bunyi layang-layang ke’-lake’an* di atas langit, deru angin saat bergesekan dengan dedaunan, jangkrik dan kawan-kawannya yang tambah keras berdendang setelah mati lampu-benarbenar berisik, tapi menenangkan.

Hmm. Dan langit waktu itu sunggguh elegan. Perpaduan antara hitam sebagai warna layar, sabuk asteroid dan taburan bintang yang berpijar sebagai latar. Semuanya beku membisu, terpaku dalam diam, diam yang memukau. Anggun. Paradoks alam terhadap kehidupan yang selalu bergerak. Di iringi orkestra hewan malam, sambil rebahan-kepalaku tambah sakit kalau harus mendongak terus-, semakin kunikmati kanvas malam waktu itu. eh, sedikit tak percaya dan kaget juga-Seperti anak kecil yang pertama kali melihat sesuatu-, ada bintang jatuh melintas tepat di depan arah pandangku, dengan bodoh, buru-buru aku berdoa*keyakinan yang dipaksakan dan keputusasaan yang halus. Tak lama kemudian, dia pun ikut tesenyum bersama bintang-bintang.

Karena semua keadaannya mendukung dan dengan sedikit bingung, ahirnya aku melamun. aku sepertinya lebih suka gelap-malam- ketimbang hingar bingar cahaya lampu-perkotaan-.  Ada ketenangan, kesunyian, kebebasan dan penyatuan yang dihadirkan gelap. memang dengan sedikit takut, karena jarak jangkau penglihatan sangat terbatas saat gelap, ini jugalah keuntungan ada cahaya, ada rasa aman yang ditimbulkan karena kita bisa dengan sangat jelas melihat sekitar. Memang, cahaya lampu punya pesonanya sendiri. Refleksi dari emosi yang bersinar, seolah-olah menghentak dan terikat, menyedot ke arahnya. spektrum warna itu memang selalu mampu memukau otak primitif kita. Tapi tetap aku lebih suka gelap yang dihadirkan malam. Lengkap dengan deru angin, kanvas dan orkestranya.

Untuk orkestra yang satu itu, ada kelucuan, kegelian yang tak terkatakan saat aku mendengar jangkrik dan kawan-kawannya berdendang, sudah kubilangkan waktu mati lampu mereka malah tambah nyaring. Seperti ada kerinduan dan penantian dalam nyanyiannya, dan semuanya terbayar ketika mati lampu. Aku mengartikan prolog dalam bhs. indonesianya begini;

Jangkrik : “sialan, sialan, sialan! Ahirnya, lampu bang*at mati juga. ayo kawan-kawan! kita menghentak sampai mati malam ini. Sudah lama aku tak sebergairah ini. SIALAAAAAN! KRIIK!! KRIIIK!KRIIIIIIIK!”

Kemudian diikuti oleh hewan*serangga yang lain. Semakin lama ritmenya makin cepat, makin nyaring dan makin menggelikan. Setelah sekian lama, tiba-tiba semuanya berhenti. Listrik kembali mengalir, Lampu telah menyala, aku pun beranjak memasuki kamar.






No comments:

Dimensi Tak Hingga © 2014