Saturday, June 18, 2011

My first Hiking (at wlerang) Bab I

Saturday, June 18, 2011
pasal 1

“ Woro-woro..
sudah siap mendaki?
siaaaap .:-D
nanti kumpul jam 1 an di yapita ya
cz brang2nya ada dsana..ok.
jangan lupa jas hujannya bro ;-) ”

Sent:
25-Mar-2011 07:50:26

Setelah shlolat jum’at, dengan tak sabar, aku mem-packing barang-barang yang sekiranya ntar dibutuhkan buat mendaki. Setelah ‘kurasa’  lengkap, dengan detak jantung yang meledak-ledak, aku pacu motorku menuju masjid yapita,  tapi yang datang masih cuman aku. mas Sholik (yang sms di atas) juga masih menggunakan baju koko merah mudanya. Ah... dengan sangat kecewa, aku balik dulu ke kost-an buat tidur sejenak kalau ‘bisa’.
Kira-kira jam 2an, aku di sms untuk menuju yapita. Sudah pada kumpul katanya. Ya, dengan detak jantung yang sama, dan juga mengendarai motor yang sama, aku sampai di yapita. Memang, disana sudah ngumpul mas sholikin dan mas sigit. Tapi ini masih belum lengkap. Ya, tak apalah. kami bercanda dengan sisa waktu yang ada sebelum berangkat.

Setelah sholat ashar, kami sudah siap untuk berangkat (dari rencana berangkat jam stngh 2an molor sampai jam stgh 4). Yang beranggotakan : Mochamad Sholikin, Darill M. Arief, Sigit PanCahayani, Ade Rifani Ardian, Wong Bulu, Umar Faruk dan aku sendiri Khoiron Benraxid. Aku berboncengan dengan mas Daril, Mas sigit dengan mas Umar, mas sholikin dengan mas Sholik dan mas Ade sendiri.
Di awal perjalanan, dengan lancar kami memacu motor. oh, tidak. Langit memekat, sepekat labirin di rumah yang tak berpenghuni. Aku buka kaca helm teropongku, ku bentangkan tangan kiriku(yang satunya memegang kemudi) dan kurasakan belaian lembut angin basah yang melirih pelan. “Ini pasti hujan” batinku. Kami merasakan hal yang sama. hujan akan turun sebentar lagi. Sress. Dan mulailah hujan itu turun tepat di depan jalan raya sebelum Royal. Kami berhenti sejenak untuk memasang jas hujan. Hujan ini akan menemani sisa perjalanan kami hingga sampai di tempat tujuan. Tapi, tentu saja kami tak gentar. Dengan semangat seorang anak kecil, kami men-ngebut layaknya pembalap pro. Oh, bung. Kurasa rosi takkan mampu menyusul kami. Kamilah raja jalanan kali ini.

Sesampainya di pandaan, kami berhenti sejenak untuk menuanaikan janji  di masid Cheng Hoo. Kami bukanlah apa-apa untuk-NYA. Kami hanya sedikit merayu-NYA dengan Ibadah kami yang serba kekurangan. Kami harap Dia seidkit senang. Nah, di sinilah bencana itu dimulai (bercanda). Mas sholik -dengan semangat yang dia ambil dari anak muda sepertiku- Meminta untuk mendokumentasikan jejak kami disini. Ah, Dasar orang tua. Pengennya  photo-photo aja. Hehehe. ini juga jangan kau anggap serius. Angkatan tertua adalah ’07 (3 orang), kemudian ’08 (3 orang) dan aku sendiri ’09. Jadi paling tua di antara kami kira-kira berumur 22 an. setelahnya, kami mengisi perut di warung, yang entahlah namanya apa. Dengan penuh napsu kulahap hidangan untukku. Nasi campur pake’ telur. Kenyang, betapa nikmat hidup ini.

Kami tiba ditempat registrasi kira-kira jam 8 kurang berapa, ntahlah. Setelah mas Ade menyelesaikan registrasinya sekaligus menyewa 1 senter dari warung yang ada disitu dan juga setelah aku menghabiskan sebatang rokok L.A ku di temani mas Umar (yang nantinya hanya mengenakan celana pendek sepak bola untuk naik gunung), Kami membaca doa ber jama’ah. kemudian kami meminta bapak yang jaga registrasi untuk memhoto kami. Aku dengan jumper jujitsu-ku dan celana bersaku banyak berwarna krem yang aku pinjam dari Huda (Teman sekamarku) serta ransel besar yang bergelayut manis di punggungku, maka di mulailah perjalanan kami menaklukkan gunung wlerang. Tepat jam setengah 9 malam kurang seperempat.

pasal 2
Dengan tawa riang karena lelucon renyah (serenyah peyeknya nasi pecel di pagi hari) yang sering kami lontarkan, dan dengan langkah ringan seringan cheetah saat memburu mangsa, Kami memulai berkenalan dengan jalan berbatu gunung wlerang.

“ atur posisi, 3 di depan 4 di belakang ” mas Ade memberi intruksi. Kalo bisa , sebenarnya aku ingin berada di tengah-tengah barisan aja. Setelah ibu (istri bapak pengurus registrasi) di warung yang kami sewa senternya tadi menceritakan hal-hal angker yang ada di sepanjang jalan menuju puncak, baraku sedikit meredup. Tapi akhirnya, aku memilih barisan di depan dengan tangan bergelantungan tanpa memegang senter. Aku tak kebagian senter karena senternya cuman ada 5. Di tengah kegelepan malam dan keheningan hutan yang mengancam, kami berjalan berdampingan. Dengan hati-hati -meski tak mengurangi kecepatan langkah kami- , kami menyusuri jalan panjang dan berkelok-kelok. Celakanya, pada belokan ke 4 yang menanjak, Jempol kaki kanan mas Ade terluka. Dia tersandung batu nakal yang duduk melamun. Dari balik kukunya mengalirlah darah segar sewarna merah delima. Kami langsung mengambil inisiatif dengan membasuh kakinya dulu, kemudian dia menggunakan sepatu gunung dari karet yang ringan, setelah sebelumnya mengggunakan sandal yang berat, mengurangi resiko takut-takut dia tersandung batu tak bertanggung jawab lagi. Pikiranku mulai mngembara tak karuan waktu itu.

“ kikikiki!”. “ Eh, apa itu? ” batinku. Aku rasa telah mendengar tawa mirip bocah kecil  di balik pepohonon, di pinggir kiri atas kami. Apakah itu hantu? Gimana kalau dia datang gara-gara darah segar dari jempolnya mas Ade? Apa yang harus kami lakukan? Bulu kudukku berdiri, kulit bagian atas tengkorakku merinding. dengan keberanian yang aku paksakan, ku tebarkan pandangan ke seluruh penjuru hutan. Ternyata tak ada apa-apa. Yang lain sepertinya tak mendengarnya juga. Untunglah, itu cuman sisi gelap pikiranku yang suka menonoton filam horor saja. Atau mungkin itu sungguhan? Tapi Hanya aku yang mendengarnya?. Terserahlah. Berfantasilah sesukamu. Aku juga tak tau jawabannya.
                                                                #             #             #

“ Belok mana ni? ”.
“ kiri apa kanan? “.
“ ada tanda-tanda yang menunjukkan arahnya ga’?”. “ ga’ ada ”
“ seingatku kanan, tapi ntahlah”
“kenapa tadi aku  tak mendengarkan penjelasan bapaknya, aku terlalu meremehkan ”
“ aku cuman dengar sampai jalan setapaknya aja ”
“ kayaknya kiri, kita coba dulu, jika salah kita bisa balik dan ambil jalan yang satunya ” kata mas Ade. Soalnya tak lama lagi nanti ada pos penjaga yang tak berpenghuni. Jika nanti ga’ ketemu-ketemu posnya. Kami bakal balik lagi.
“ok, ayo berangkat ”  kami manut aja, soalnya emang dia yang paling memperhatikan penjelasan bapaknya tadi.
“ bismillah “. Seru kami kompak.
               
 gini bung. kami dibingungkan oleh jalan bercabang yang bersebrangan -Memang, di tempat registrasi tadi bapaknya telah menjelaskan rute yang harus kami ambil-. Kira-kira setelah kami berjalan selama 15 menit dari tempat registrasi. ini 15 menit yang melelahkan bung. Jalan yang menanjak dengan gelapnya malam yang membuat bulu tengkuk berdiri. Jadi, Jangan coba-coba berpikir kenapa kami tidak balik saja ke tempat registrasi tadi, dan nanya ama bapak pengurus registrasi sekaligus yang punya warung itu kemana harusnya jalan yang kami ambil. “ Cuman 15 menit aja kan ”. Ini pernyataan yang paling menusuk hati (lebay) jika kami harus mendengarnya. Apakah jalan yang kami ambil salah? Apakah nantinya kami harus balik lagi?
                                                                #             #             #

“ sudah sampai di kop-kopan ” kataku. Kebetulan aku berada paling depan bersama mas Daril. Kemudian mas sigit.
“ alhamdulillah “ seru kami.
Setelah melalui jam-jam menegangkan dengan gerimis yang selalu setia menemani. Ahirnya Kami sampai juga di kop-kopan (istilah untuk tempat pemberhentian sementara) pada jam 23.50. kira-kira segitu. Soalnya, pikiranku telah terlepas waktu itu, terbang tinggi dari ragaku  dan jatuh di kasur hangat dan bantal empuk di kostku.
          “ coba liat kebawah “ kata mas daril.
 “ jika di langit ada bintang” jawabku “ Sinar kerlap kerlip dari lampu di setiap bangunan itulah bintang di bumi ”.
sungguh indah. Dengan ketinggian jauh di atas pemukiman. Pemandangan kerlap kerlip di bawah itu sungguh memukauku. Lama aku mematung meski hawa dingin dan deru angin pegunungan menusuk-nusuk kulitku. Betapa semua ini mempunyai makna. Dan betapa indah dunia ini jika kita sedikit saja mau membuka hati.
setelah duduk sebentar di warung  yang kosong, yang tak digunakan, kami mulai memasang tenda di samping utaranya. Aku cuman ikut bantu-bantu aja sekaligus belajar. Karena sebelumnya aku belum pernah mendirikan tenda. Meski awalnya ada beberapa kesalahan, akhirnya jadi juga. Setelah menganti jumperku dengan sweeter kering dan celana basah yang banyak sakunya dengan celana futsal yang tipis plus sarung. Aku buru-buru masuk kedalam tenda. Setelah memakan biskuit yang di bawa mas sigit dan bercanda sebentar, Aku terdampar di alam gelap tanpa mimipi.

Bersambung...

Nb : insyaAllah, bisa saja aku menceritakan setiap detil perjalanan kami. Setiap detiknya. Bagaimana perasaan kami, setiap intrik yang hadir bersamaan dengan kabut yang semakin menebal dan waktu yang terus beranjak tanpa peduli, rasa lelah dan pegel-pegel yang memaksa  kami untuk sering berhenti di sepanjang perjalanan Dan pikiran aneh yang mengendap-ngendap di bagian paling gelap otakku yang selalu mengancam setiap saat. Tapi karena ingatanku waktu itu membeku kemudian menguap serta memikirkan kau yang membacanya mungkin akan sedikit bosan jika aku berlama-lama. Maka dengan profesionalitasku (hehehe) sebagai seorang yang ingin berbagi cerita, Aku mencoba menceritakannya semenarik, sepadat dan seindah mungkin.


1 comment:

si ganteng said...

ih lanjutan ceritanya mana yang

Dimensi Tak Hingga © 2014