Jika terjadi, maka dalam hitungan hari aku akan berada di puncak Semeru. Puncak tertinggi di jawa, puncak yang belakangan ini orang-orang ingin berada. Dan aku sendiri? Mungkin aku juga termasuk, tapi mungkin juga tidak. Karena semakin sering aku memikirkannya, ternyata semakin membuatku tak begitu mengerti apa tujuanku pergi ke sana. Semakin membuatku bingung apakah aku benar-benar menginginkannya.
22-12-12
Kami
mulai bersiap menaiki motor, di pelataran jalan di depannya kontrakan bumi
marina emas utara f-119, kurang lebih jam 10 an. Aku tak mengetahui
masing-masing perasaan dari temanku, tapi perjalanan yang akan baru di mulai
ini, mengantarkanku pada ketenangan yang, bahkan aku sendiri tak tau dari mana
datangnya. Assseeek.
Bulan menggantung tenang
malam redup melukis awan
anginpun mengalun pelan.
Selamat jalan untuk kami
sampai jumpa untukmu
Sesampainya di
bungurasih, tak butuh waktu lama, kami mendapatkan bis yang akan mengantarkan
ke terminal arjosari, malang. Setelah menaruh tas carrier di bagasi, kami
berebutan masuk bis dengan penumpang lain. Berdesaka-desakan, seperti saat
pembagian sembako, ntah kenapa orang Indonesia lebih suka dengan keadaan
seperti ini, ketimbang antri dengan rapi, mungkin ada alasan psikologis tentang
ini, seperti misal karena orang Indonesia senang sekali bersosialisasi, dan
keadaan ini sekaligus bukti bahwa mereka sangat senang sekali berdekatan dengan
yang lain, sampai mencium-cium ketiak orang disampingnya pun tidak masalah. Oh
kawan, tidak bisakah kalian lebih higienis sedikit saja. Awalnya aku mencoba bersikap
tenang, ah, tapi mata mulai memerah dan air liur menetes dengan ganas, “THIS IS
WAR, kursi itu milik gueh!”
Setelah di dalam
bis, aku buru-buru memilih kursi yang kosong sekaligus membokingkan teman-teman
yang lain, teman yang sudah masuk duluan juga melakukan hal yang sama. Sebenarnya
ku pikir melakukan ini aga’ sedikit curang, jadi untuk bapak-ibu sekalian, kami
mohon maaf untuk ketidak nyamanannya, atau mungkin juga tidak, karena ini sudah
menjadi hal yang sangat wajar, jika boleh sedikit agamis, izinkan saya
menjelaskannya; hal yang sudah menjadi kebiasaan ini adalah hukum yang tak
tertulis, karena semua orang telah menerimanya dengan sadar, seperti yang di
jelaskan oleh imam Syafi’i dalam qoidah fqhnya “Al-adatu hukkamu ; adat(kebiasaan)
itu dijadikan hukum(tentu saja dengan beberapa syarat yang harus dipenuhinya)” jadi intinya, kami tidak melakukan kecurangan
karena semua orang telah menerima hal ini dengan sadar.
Di dalam bis, kebanyakan
dari kami menghabiskannya dengan tidur. Sebenarnya tidurnya benar-benar tidak memuaskan,
karena hanya sebentar, apalagi malam sebelumnya aku tidurnya juga sebentar,
siangnya juga tidak sempat tidur karena masih ada yang perlu dipersiapkan,
ditambah lagi paginya tenagaku sudah terkuras buat main futsal. Huuffftt. Capek
beudh.
Sesampainya di
terminal, kalau tidak mau nyarter mobil, kami diberitaukan oleh pak supir bus
untuk nunggu jam keberangkatan len saja, karena harganya lebih murah, hanya
3.500/orang. tapi sesampainya di tempat pemberangkatan len, kami merasa
tertipu, harga yang dipasang tenyata 8.000, dengan nego dan cuap-cuap yang tak
jelas, harga masih tetap saja tidak bergeming, kami pun menyerah. Kami
memutuskan untuk istirahat dulu di emperan toko. Aku menghabiskan beberapa
batang rokok. dengan harapan tidak pasti, kami menunggu ongkos lennya turun.
Jangan bilang bahwa kami terlalu perhitungan, tapi kami memang butuh ongkos
seminimal mungkin. Memperhitungkan hasil ahirnya, kami tidak ingin dana yang dihabiskan
ternyata jauh membengkak dari perkiraan awal.
Kira-kira
setengah jam kemudian, supir ankotnya datang dengan tawaran ongkosnya jadi
6.000, setelah berembuk, kami sepakat untuk mengambilnya. Tak lama kemudian
kami menuju ke tumpang. Kurang lebih setengah jam-an kami telah sampai. Di
tumpang kami memilih untuk naik truk sayur yang besar itu, agar cukup untuk
memuat kami yang ber 24 orang. Ongkosnya, 30.000/orang. Masih terbilang mahal
dan ada kemungkinan untuk diturunkan, Kami menego agar mau diturunkan ke angka
25. Awal mula bapaknya tidak mau. Alasannya, ini adalah harga yang sudah
ditetapkan. Jika bapaknya menurunkan harga itu, maka besar kemungkinan bapaknya
akan dapat sanksi moral dari supir yang lain. Kami paham, tapi kami juga butuh
ongkos yang juga kecil. di ahir, bapaknya mau juga memberi potongan, bukan dengan
menurunkan ongkos, tapi kami yang ber 24 itu diminta yang bayar cuman 20 orang,
yang 4 orang gratis. Setelah dihitung ternyata itu sama saja ongkosnya jadi
25.000/orang. Ah, baik sekali bapaknya, Jadi kami sepakat, bapaknya senang kami
pun juga bahagia. Ini sebenarnya hukum pasar yang sederhana, antara penjual dan
pembeli itu saling membutuhkan, masalahnya adalah bagamaimana caranya kau
membuat hukum itu menjadi keuntunganmu. Disinilah letak negoisasi dan
pengetahuan dibutuhkan. Dan tidak mudah memang. Hahaha. Sok-sokan
Truknya mau
berangkat setelah shubuh, jadi di tumpang kami beristirahat dulu, menyeduh kopi
dan teh yang telah disediakan, teman-teman cewe’ ada yang membeli sayur untuk
kebutuhan nanti di gunung. Setelah selesai sholat shubuh, kami diminta untuk
naik truk karena bentar lagi akan berangkat. Ya bentar lagi, sepertinya
sejam-an menunggu berdiri di atas truk bagi bapaknya masih terbilang sebentar.
Jam 5 lewat kami baru berangkat.
Di ujung langit
sudah mulai memerah, cahaya pelan-pelan merayap menyingkap gelap. Di perjalanan
tak habisnya kami bercanda, meski dinginnya udara dan angin membekukan tangan
kami. Sesekali kami berdecap kagum melihat pemandangan sekeliling. perkotaan
dan gunung yang jauh di belakang kami, kotak-kotak ladang, bahkan pohon aple di
halaman rumah orang yang beberapa kali coba kami gapai. Lebih dalam lagi
memasuki wilayah pergunungan semeru, lebih indah lagi pemandangan yang disuguhkan.
Gugusan bukit menjulang di samping kanan kiri kami dengan pepohonan hutannya
yang lebat, kotak-kotak ladang yang ekstrem menurun, tapi sungguh memikat, hijau
dimana-dimana, perumahan penduduk yang terkenana sinar matahari gunung,
jalanannya yang terjal dan berkelak-kelok, kami juga melewati tempat saat scene
5 cm, ketika zafran bilang “dan taruh puncak itu 5cm di depan dahi kita”. Tak
lama kemudian ada yang nyletuk
“kaya’ di
film-film ya” spontan kami semua tertawa, tentu saja lah, dimana lagi shooting film-film
itu di ambil kalau bukan di pegunungan. Ada juga yang bilang
“samudra di atas
lautan” katanya dengan bangga. Hahaha Jenius, benar-benar pantas untuk jadi korban
pembully-an. Mungkin maksudnya adalah samudra di atas awan.
truk yang kami pakai dan menyiapkan perijinan |
2 jam-an kami
sampai di resort ranu pane, meskipun aga’ kecewa karena ranu-nya dibiarkan tak terawat
begitu. Sangat kotor, sampah ada dimana-mana. Yeah, hanya sebatas bentuk rasa
kekecewaan. Hmm, hmmm, hmm.
warung makan |
Perut sudah
bergoyang tidak jelas, setelah menyelesaikan prosedur prijinan. kami lalu makan
di warung, nama warungnya, aku tidak tau. Rawon plus teh anget, ada juga yang
pake’ lodeh dengan telor. Apapun makanannya, sebeda apapun yang kami makan saat
itu. Nanti setelah di atas gunung, apalagi setelah memakan masakan pertama
waktu di ranu kumbolo. Kami dengan sangat sadar sepakat, makanan diwarung
itulah makanan terenak terahir, yang melewati lidah kami sebelum muncak.
Setelah semuanya
siap, doa pun telah selesai dipanjatkan. Kira jam 9 nan, Kami memulai menempuh
perjalanan panjang ke puncak semeru. Ini adalah ke-6 kalinya aku mendaki. Di
awal perjalanan semuanya lancar. Jalanan masih landai bahkan menurun, setelah
mamasuki gapura “selamat datang para pendaki”, jalannya langsung menanjak. Aku
sempat tertinggal dibelakang karena membantu temanku membenarkan tas carriernya.
Setelah tanjakan
pertama, kami langsung berhenti. Membenarkan nafas dan mengatur posisi.
Selanjutnya aku tidak bisa menjelaskannya secara detil sampai ke ranu kumbolo,
jika tetap ingin tau, kau hanya perlu tau setidaknya satu kali pernah naik
gunung. Perjalanannya kurang lebih sama. Capeknya, bawaannya yang memberati
punggung, dada yang benar-benar dipompa habis-habisan, kaki yang serasa tidak
mampu melangkah lagi, dan tempat pemberhentian yang tidak terhitung lagi
jumlahnya. jika kau bertanya kenapa mesti melakukan hal yang menyiksa seperti
itu, aku mungkin tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, tapi izinkan aku
mengatakan ini.
Di dunia ini kadang ada hal yang tidak bisa kau jelaskan, seindah apapun kata-katamu, selancar apapun grammar yang telah kau kuasai, tapi yang perlu kau lakukan hanyalah membiarkan hal itu mengalir, mengalir dengan tenang dan perlahan di tubuhmu, di hatimu, tanpa merusaknya dengan interpretasi akal yang terbatas.
Di ranu kumbolo,
aku dan seorang temanku datang mengawali. aku memang buru-buru karena aku
membawa 2 tas carrier, di depan dan belakang, tas yang satunya adalah milik
mba’ku. Jika aku memakan waktu lebih lama, itu hanya akan menambah rasa sakit
di pundak. Bukan karena terpaksa aku harus meninggalkan yang lain dibelakang,
tapi itu memang yang harus ku lakukan. Ini terjadi mulai dari pos 3 sampai kesini,
ke ranu kumbolo. Katakan saja bahwa aku sok kuat dan keren dengan melakukannya,
aku sama sekali tak menolaknya, apalagi aku memang kuat dan keren, sangat keren.
Atau anggap saja karena pencitraan yang belakangan ini sering menjadi komentar
orang-orang terhadap perpolitikan. Ah, menghayal liarlah sesukamu.
“kata keluarga itu tak datang dari kata-kata manis dan indah yang meluncur dengan mudah dari mulut, tapi dari seberapa jauh cinta tumbuh dihatimu pada orang yang kau sebut keluarga itu, melihatnya bahagia adalah kebahagian juga bagimu, bahagianya adalah tanggung jawabmu.”
Ranu Kumbolo |
Dipinggir
ranu, kami beristirahat sambil berjemur, nikmat sekali rasanya. kami sulut
rokok Sambil menunggu teman-teman yang lain. Ada rasa tenang yang ditimbulkan
oleh riak-riak air ranu, arakan awan tipis di langit. Ranu kumbolo letaknya di
tengah-tengah lembah, dikelilingi bukit-bukit yang salah satunya di namakan
tanjakan cinta, bentuk ranunya tidak beraturan-seperti bentuk ranu pada
umumnya-, bentuk lonjong besar yang disalah satu sudutnya memanjang ke samping.
Dan di belakang kami ada savana luas yang di apit oleh bukit telatabis. Indah
tentu saja. Tinggi ranu kumolo +- 2400 mdpl dengan luas 15 ha.
bukit teletabis |
2
batang rokok telah habis, lalu jadi sedikit galau karena teman-teman belum datang
juga. Ahirnya kami memutuskan untuk tidur dulu, tapi tak lama kemudian ada
suara jauh di seberang ranu yang memanggil nama kami. kira-kira sejam-an dari
pertama kali kami datang. Setelah lama kami menunggu, ada rasa kecewa dengan
datangnya mereka. Kami telah lama menunggu disini, tapi mereka malah memilih
membangun tenda jauh disebrang tempat kami berada. Meskipun ada
sedikit ‘miss’ untuk tempat dimana membangun tenda, semuanya terselesaikan
tanpa ada korban jiwa. Iiihh. Serem,
“Ketika ada sesuatu yang menggangumu, ketika ada sesuatu yang sampai membuatmu kesal, bahkan sampai emosimu seperti tak tertahankan lagi. Akan ada banyak spekulasi yang menyerbumu. jangan heran jika spekulasi itu kebanyakan mengarah pada hal yang buruk. Tapi ingat, tanpa bukti, spekulasimu itu tetaplah menjadi hipotesa. Jika kau mengambil kesimpulan hanya dari spekulasimu itu, sama saja itu menjadi bukti bahwa kau termakan emosimu sendiri. Kau kalah, Kau membiarkan dirimu menjadi bodoh. Jika ada yang kurang jelas, maka tanyakanlah. karena mungkin ada alasan pada setiap sesuatunya, Jika itu berhubungan dengan orang lain, maka tanyakanlah kenapa dia melakukannya. Jangan sampai kau mengambil tindakan dari spekulasi bodoh tanpa bukti itu, karena suatu saat kau pasti akan menyesalinya.Nanti, mungkin spekulasimu terbukti benar, tapi bisa juga salah. Yang terpenting adalah kau tidak membiarkan dirimu membenarkan diri secara sepihak, lalu mebuat dirimu menutup diri dari berbagai kemungkinan lain, membuatmu jadi bodoh. Jangan merusak dirimu sendiri dari dalam karena keangkuhan dari pembenaran diri secara sepihak”.
Mulai
Sore sampai sehabis maghrib hari itu, dihabiskan teman-teman untuk memasak,
aga’ sulit untuk memasak memang, karena hujan sering turun secara tiba-tiba,
apalagi ketika teman-teman ditanya, ternyata ini baru pertama kalinya mereka
masak. Ah, perfect. Dan tereng, jadilah nasi yang kami makan aga’ sedikit
seperti makanan burung. Nasinya masih kurang matang. Jangan tersinggung, selama
mendaki, aku sudah sering makan masakan seperti ini. Dikarenakan memang cara memasak
nasi di tempat peradaban dan di gunung sangat berbeda, apalagi bagi yang di
peradaban belum pernah masak. Memang perlu belajar dan tau teorinya. Itu saja. Aku
juga pernah mencobanya, memasak nasi di atas gunung. Di bawah saja aku ga’
pernah masak, malah sok-sokan masak di atas gunung. maka jadilah seluruh teman
se pendakianku trauma terhadap sarden, karena dimakan berdampingan dengan nasi
seperti makanan burung itu. Terkecuali bagi satu temenku, awalnya katanya mau
makan dikit aja, eh malah nambah terus dan habis paling dulu.
Yang
tak kalah perfect juga, makanan di sore itu adalah sop menggunakan bumbu ‘mie
sedap rasa soto’. jenius, sepertinya teman-temanku yang masak itu punya bakat
untuk jadi koki. salah satu temanku sampai ada yang bilang keesokan harinya.
katanya ‘Sop kemaren itu enak banget ya, aku ga’ pernah makan masakan yang
seperti itu sebelumnya’. Tentu saja, dan cukup dia sajalah yang berkomentar
seperti itu.
Kalau tau akan
terjadi hal seperti ini, ingin rasanya kubiarkan saja sesuap rawon di warung
tadi, tetap di mulutku sampai nanti turun lagi. Hahaha. Bercanda. But for all,
terima kasih atas hidangannya. Makanan di atas gunung itu adalah salah satu
masalah yang paling krusial, karena menjadi sumber utama energi kita untuk
perjalanan selanjutnya dan kalian telah memberikan yang terbaik pada kami,
terima kasih banyak… hiks, hiks, hiks.
Sehabis
makan, kebanyakan dari kami langsung istirahat di dalam tenda, tapi ada juga
yang masih bikin minuman anget-anget dan masak mie. Kira-kira jam 9 nan malam semua
aktfitas sudah berhenti. Letak tenda kami menyendiri(menjauh) dari letak tenda
pendaki lain, jadilah malam itu seperti kami lah pemilik wilayah itu. Keadaan
seperti itu sepertinya sangat penting bagi teman-teman yang lain.
Ke esokan
harinya, kira-kira jam setengah 11-an, kami telah siap melakukan perjalanan ke
kalimati, tempat camp terahir, sebelum malamnya kami akan melanjutkan summit ke
puncak semeru. Perut pun telah terisi dengan masakan yang jauh lebih baik dari
hari sebelumnya. Kami juga telah melakukan perenggangan dan senam ringan, agar tidak
mudah kram dan salah urat.
Sebelum sampai
di tanjakan cinta, tepatnya di belakang shelter ranu kumbolo, kami terlebih
dulu harus jalan memutari ranu kumbolo kira-kira ¾ kelilingnya, lumayan jauh.
Tapi ini namanya juga pendakian. Perjalanan berat dan lelah adalah salah satu
bagiannya yang tak terpisahkan.
Jam setengah
12-an kami sampai di shelter. beristirahat sebentar dan mengisi air minum yang
telah kosong. Di saat itulah kami harus kekurangan anggota. Kakak dan maba’ku
harus balik, karena kondisi mba’ku sudah tidak memungkinkan lagi untuk
melanjutkan. Ketika awalnya kau berangkat bersama dan harus kekurangan
anggotamu di waktu perjalanan, itu seperti ada sesuatu yang hilang di dada, ada
ruang kosong yang terbentuk. –Alay-. tapi ya gimana lagi. Kami harus merelakan
mereka balik duluan. Selamat jalan, masih ada banyak waktu di hari esok.
Tanjakan Cinta |
Diperjalanan ke
tanjakan cinta, aku bincang-bincang dengan seorang temanku. Membahas hal yang
tidak penting sebenarnya. Lalu dia nanya siapa yang aku pikirkan nanti.
“siapa juga yang akan kupikirkan, aku tak akan
memikirkan siapapun” kataku
Dengan langkah
berat kupijakan kakiku pada tanjakan cinta, aku nanjak duluan dengan temanku
yang satu itu, teman-teman yang lain masih asik photo-photo dan meliat memoriam
di ranu kumbolo. Ya, tak ada alasan bagiku untuk memikirkan siapapun. Konyol
sekali sebenarnya mempercayai hal seperti itu, mempercayai bahwa seorang yang
dipirkan selama menapaki tanjakan cinta, tanpa menoleh ke belakang, maka
cintanya akan terwujud. Tak ada bukti ilmiah, bahkan mitospun ku pikir itu juga
bukan. Benar-benar konyol, orang yang pertama kali mengarang-ngarang cerita ini,
pasti sampai ahir hayatnya sangat puas, karena mampu menipu banyak orang sampai
sekarang…
Ada siluet wajah yang mengendap
rumput bahkan tak berbisik
ada pendaran cahaya pada selembar daun yang jatuh perlahan
maka, hantarkanlah wahai angin
Sesampainya di
ujung tanjakan rasanya benar-benar lega, bukan, dadaku kerasa terbakar, apalagi
karena beberapa batang rokok yang kuhabiskan sebelum berangkat. Senang rasanya
melihat teman-teman masih berjuang, sedangkan aku sudah duduk santai. Nikmat
sekali melihat kesengsaraan orang lain. Hahahaha. Ada yang keliahatan galau,
lalu sering menoleh ke belakang, ada yang sudah duduk saja di jalan tanjakan,
sambil melihat kearah ranu kumbolo. Ada yang sudah beberapa kali berhenti, tapi
enggan menoleh ke belakang. Ahirnya aku sedikit memahami.
“tetaplah melihat lurus ke depan, seberat apapun di pundakmu, seperih apapun kakimu telah melangkah. jangan menyerah, jangan sekalipun menoleh kebelakang, jangan pernah ingin kembali karena apa yang telah kau lakukan sejauh ini, biarkan yang telah lalu tetap menjadi kenangan, sebodoh apapun kau di saat itu, seburuk apapun atau bahkan senyaman apapun dirimu, karena kehidupan masih membentang ke depan dan setelah kau sampai di ‘ujung’, kau akan tau bahwa itu adalah sesuatu yang pantas kau perjuangkan. Karena di hatilah tempatmu benar-benar hidup”
Angin di ujung
tanjakan begitu segar. Cahaya matahari berpendar, menyusup dedaunan dan ranting
pepohonan
to be continued...........